Samudera yang saat itu berusia dua belas memandangi Khafa, sang kakak yang tengah bersiap dengan koper besarnya. Malam ini, Khafa akan berangkat untuk melanjutkan sekolahnya di Amerika. Meninggalkan Samudera sendirian di Jakarta tanpa seorang pun.
Memang, ayah mereka masih lebih banyak di Jakarta. Tetapi, dengan intensitas pertemuan yang sangat jarang, Samudera lebih merasa seorang diri sekarang ini.
"Lo benar-benar harus pergi, Kak?" tanya Samudera mengulang kalimatnya.
Khafa tersenyum tipis. "Iya, kan udah daftar sekolah di sana."
Samudera menarik napas. Percuma. Kakaknya tetap akan pergi. Ia melirik ke arah Khafa yang tengah berjongkok untuk mengunci kopernya. Semua terlihat sudah siap. Ia tinggal berangkat.
Khafa kemudian berdiri. Ia melihat-lihat ke arah foto polaroid yang terpajang di atas lemari sejenak.
"Nggak lo bawa, Kak?" tanya Samudera ketika Khafa terpaku pada selembar foto dirinya dan seorang gadis yang lebih kecil. "Sekalian lo bawa anaknya pergi."
"Sinting!" Khafa tertawa.
"Legally speaking, kalian tuh udah nikah."
"Statement sinting nomor dua!" Khafa berdecak pelan. "Papa baru bikin perjanjian. Pernikahan baru dilakukan setelah kita sama-sama sudah di atas 21 tahun."
Samudera tertawa. Ia mengangkat bahu. "Tapi, perjanjian itu resmi di bawah notaris. Jadi, apa bedanya?"
Khafa menggeleng tak habis pikir. Ia meletakan foto itu lagi. "Sam, gue boleh minta tolong?" tanya Khafa tiba-tiba.
"Apa?"
"Jagain dia."
"Hah?" Samudera membelalakan mata. Ia berusaha mencerna permintaan kakaknya. "Dia? Nggak, ah! Dia nyeremin! Cewek-cewek bisa matahin tangan orang! Mana bawel banget! Dia diculik juga, penculiknya kali yang mati."
Khafa tertawa. "She is the strongest girl, I've ever seen in my life, Sam. But still, can you protect her for me while I'm gone?"
Samudera menarik napas. "Fine!" Lelaki itu memajukan bibir. "I'll do."
*
Menjejakan kaki di bar dengan begitu banyak orang, Danisa merasa gamang. Samudera berada di sebelahnya. Berjalan bersisian. Dan semua orang memerhatikan mereka seperti binatang di kebun binatang. Ada yang mengerutkan dahi, memicingkan mata, atau keduanya.
Danisa menunduk. Ia tak suka ditatapi begitu banyak orang begitu.
Samudera yang sadar akan ketidak nyamanan Danisa tersenyum kecil. "Santai, Sa. Jangan tegang."
Danisa mengangguk pelan. Ia takut. Takut dengan pandangan dan perhatian orang-orang.
"Mungkin sekarang mereka lagi mikir, siapa cowok cacat yang lagi jalan itu? Atau... lagi mikir ini bidadari turun dari mana?" Kalimat jahil yang diucapkan Samudera membuat Danisa memajukan bibir bawah sambil memukul bahu lelaki itu pelan.
Tawa terdengar. Danisa merasa jauh lebih baik.
Danisa sering diundang ke pesta teman-teman Daniel. Biasanya, di kelab malam atau rumah seseorang. Semacam pesta kecil akhir pekan dengan paling banyak 25 orang. Tetapi, jujur saja, pesta ini berbeda.
Ketika masuk ke dalam arena pesta, tampak tamu yang ramai. Masing-masing duduk di kursi panjang atau di meja-meja. Ada yang mengobrol sambil minum, atau melompat ke kolam.
![](https://img.wattpad.com/cover/348785050-288-k967117.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFREAKTION
Подростковая литератураBagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano mengajaknya bergabung dalam tim Publikasi-Dokumentasi Festival Sekolah. Walaupun Samudera-si anak kepala yayasan...