| Chapter 03 |

934 91 10
                                    

Tok.... tokk.... tokkkk

"Bang..... Bang yan.... Udah bangun belum? Disuruh mama turun buat makan bareng bang", ujar Renza sambil mengetuk pintu kamar Bryan yang sedari tadi tak ada sautan dari dalam kamar. Renza pun tak memperdulikannya dan lanjut turun kebawah sendiri.

"Renza, abangmu mana? dia udah bangun apa belum?" tanya mamanya saat melihat Renza menuruni anak tangga.

"Tau tuh gajelas tadi Renza udah ketok-ketok pintu kamarnya tapi gaada respon, mungkin masih tidur ma", jawab Renza bete karena dia sudah lapar sedari tadi namun mama Renza yang menyuruh untuk memanggil abangnya agar mereka makan bersama.

"Yaudah ini kamu makan dulu aja ya, mama mau nyamperin abang kamu dulu di kamar", ujar mamanya sambil menepuk bahu Renza dengan lembut.

"Oke ma, Renza makan duluan dah laper soalnya", jawabnya antusias sambil melihat mamanya yang sedang menaiki anak tangga.

'Tok... Tok... Tok....'
'Tok... Tok... Tok....'

"Bryan, mama masuk ya?", Tak tunggu lama, ia pun langsung membuka pintu yang tak terkunci itu. Melihat anak sulungnya yang sedang merenung dengan tatapan kosong di dekat jendela kamarnya dan melihat 2 botol soju kosong yang sudah tergeletak di atas meja.Melangkahkan kaki mendekati anak laki-lakinya yang masih termenung.

"Bryan, kamu gapapa?", tanyanya dengan halus. Tak ada respon, tangannya pun mengelus kepala Bryan yang sudah lama tak ia pegang sebelumnya lalu memeluk anak sulung kesayangannya dari belakang. "Jawab mama Bryan, kamu kenapa?", tanyanya penuh sabar.

"I'm okay, Bryan mau pergi keluar dulu", jawabnya dengan datar lalu berdiri melepaskan tangan wanita yang melingkar di lehernya dan mengambil salah satu jaket di gantungan jaket-jaket mahalnya, meninggalkan wanita itu sendirian di kamar yang luas tanpa bicara.

Ya, Bryan adalah anak pertama dari keluarganya yang selalu di didik sangat keras dan di tuntut lebih oleh orang tuanya sejak kecil untuk bisa melakukan hal apapun agar kelak dia bisa mewarisi semua harta kekayaan orang tuanya. Namun, sejak kecil Bryan tak pernah mendapatkan dan merasakan kasih sayang dari Papa nya, hanya Mamanya lah yang selalu mendukung dan menyemangati Bryan waktu itu.

Saat adik laki-lakinya lahir, Bryan merasa bahwa kasih sayang Mamanya sudah terbagi dan tak sebanyak dulu lagi, lebih memprioritaskan adik laki-lakinya dalam hal apapun dibandingkan dengannya. Bahkan, Papa nya yang selalu memberikan kebebasan dan menuruti semua permintaan adiknya membuat Bryan semakin memiliki rasa benci yang besar kepada orang tuanya. Sejak saat itu, Bryan tumbuh menjadi sosok pemuda yang nakal dan melampiaskan semuanya di pergaulan bebas tanpa sepengetahuan orang tuanya, karena Papanya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan sering keluar kota bahkan menginap, Mamanya yang selalu sibuk dengan teman-teman sosialita nya sehingga orang tuanya tak memiliki banyak waktu untuk berada di rumah.

Hampir setiap malam dia mengunjungi Club malam untuk ber party dan bermabuk ria bersama teman-teman tongkrongannya, berniat menghilangkan semua beban yang ada di kepala, terutama harapan orang tuanya yang terlalu besar untuk seorang Bryan. Untung saja Bryan tak pernah melewati batasannya untuk bermain wanita dan memakai narkoba karena itu adalah sebuah pantangan dalam hidupnya.

Suara hentakan kaki Bryan yang sedang menuruni tangga dengan sedikit cepat terdengar jelas oleh Renza, dia mengira bahwa Abangnya akan duduk di sampingnya dan makan bersama.

Wound and MedicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang