Plankton dalam Keramaian

0 1 0
                                    

Seorang yang bernama Bunga Raya benar benar mati bersosialisasi. Ya, aku sudah terbiasan sendirian dan terlanjur tidak suka keramaian.

"Mana nih si Bos, katanya begitu bel langsung ke sini."

"Iya nih. Tahu gini mending kita yang nyamperin ke kelasnya si Bos."

Dua laki laii yang duduk tepat di depan bangku ku itu mengeluhkan akan keterlambatan seseorang, yang aku tahu siapa pelakunya.

Ya, siapa lagi kalo bukan Sekala. Pernah dengar coki coki, kan. Aku sekelas dengan mereka. Nama asli dua teman dekat Sekala itu sebenarnya kelewat bagus. Ucok adalah Yuzo Kenzo, dan Joki adalah Joe Kinan. Aku jadi takut nama panggilanku juga akan ikut berubah.

Eh, mikir apa si aku ini. Teman dalam artian yang dimaksud Sekala tidak se dalam itu loh.. Bunga Raya.. sadar diri anda ya!!

"Bos!"

"Akhirnya datang juga ini manusia. Ayo buruan ke kantin, nanti sambel di warung Pak Kardi keburu abis."

Bukannya mengiyakan ajakan Joki, si tamu yang baru datang ke kelasku itu malah duduk di kursi Ucok, "beliin pangsit pedas 2 sana, nanti bawa sini."

"Lah, kesurupan apa ini bocah?" Joki sedikit kesal melihat Sekala malah membuka HP dan bermain candy crush.

"Nanti gue kasih jersey nya Firmino waktu lawan Arsenal di Anfield-"

"Oke, Bos! Siap laksanakan!" Bergaya hormat, Joki langsung ngacir ke kantin.
Masih ada satu orang berdiri di kelas ini, "lo ngapain masih disini?"

"Gue gak dapat apa apa, ngapain nurutin omongan lo, Bos," ya, itu Ucok.

"Ya udah nanti gue kasih lego kurama-"
"Gue ke kantin sekarang."

Begitulah akhirnya tinggal ada aku dan Sekala.

"Kalian teman macam apa sih?"

"Teman yang saling memberikan manfaat," jawab Sekala tanpa menoleh ke bangku belakang.

"Pekerja dan pemberi gaji?"

"Lo melihat hanya sebelah mata."

"Mata gue gak merem satu, tuh. Emang Hatake Kakashi."

"Ucok itu orang yang ngenalin gue tentang seni. Sebelum masuk SMA, gue gak pernah tertarik sama yang namanya musik, perfilman, dan hal berbau entertaiment lainnya. Kalo Joki, dia buat gue suka olahraga. Gak cuma tentang sepak bola, sekarang gue juga ngikutin motorsport kaya motogp, formula 1, bahkan nascar. Gue menekuni basket juga sejak di SMA."
Bukan itu sebenarnya jawaban yang aku harapkan.

"Mereka butuh tutor belajar waktu kelas 10. Gue dengan senang hati ngajarin mereka fisika, kimia, matema-"

"Jadi mereka non akademis, dan lo akademisnya?"

"Bukan itu poinnya. Prinsip gue, teman itu harus punya manfaat buat kita. Dan dalam hidup gue, coki coki itu manfaat yang penting."

Jadi karena standar pertemanan Sekala yang SANGAT tinggi itu, siswa di sekolah ini menjuluki Sekala itu 'untouchable'.

"Gue kan teman lo, terus manfaat gue buat lo apa?"

Sekala diam.

"Temenin gue lah... pelit waktu banget lo sama gue!"

"Lo gak berani ke kantor guru sendiri?"

"Bukan masalah itu elah... nanti gue dikira gak punya teman kalo kemana mana sendiri."

Okay. Obrolan 2 orang di luar kelas yang semakin terdengar keras itu membuatku tersenyum pahit.

"Nih, Bos. Gue anterin si bayi ke kantor guru dulu, ya. Kalo lo mau duduk di sini dulu juga gak apa apa, kelas ini gak ada hantu penasaran kok," Ucok memberi 2 mangkuk pangsit pedas ke Sekala.

"Lo mau temenin gue?!" Joki yang tadinya cemberut di pintu depan kelas dengan cepat berubah ekspresi lebih cerah.

"Iya bawel."

Ucok dan Joki kembali meninggalkan kelas. Ucapan terima kasih yang berlebihan dari Joki itu pun sudah tidak lagi terdengar.

"Bisa dibilang, manfaat juga berarti saling membantu," Sekala memberikan satu mangkuk pangsit pedas padaku, "makan."

"Well, manfaat lo jadi teman gue karena ngasih makan, sih. Makasih," ucapku asal.

"Padahal gue baru ngasih lo makan 2 kali."

"Itu berarti besok besok lo mesti ngasih gue makan lagi."

"If you say so..."

Aku dan Sekala makan.

"Lo dulu belajar terus kah? Sampe sampe gak pernah dengar musik sama nonton film? Terus juga lo gak pernah olahraga, jadi lo sakit sakitan dong."

"Misal gue bilang kalo gue jago tahan nafas lo bakal mikir gue zombie ganteng gitu?"

"Emang zombie gak napas?"

"Ya enggak lah. Kan udah mati. Lo pikir hantu napas gitu?"

"Gak pernsh mikir buat tanya hantu si. Soal zombie, mereka kan gak nyata."

"Sekalipun lo tanya, lo juga gak tahu kan kalo hantunya jujur apa enggak."

Aku mengangguk setuju walaupun Sekala juga tidak melihat respon itu.

"Jujur, dugaan lo ada benarnya. Gue gila belajar sampai jadi peringkat 1. Biar orang tua gue datang ke sekolah karena tahu anaknya bakal dapat penghargaan. Seenggaknya karena alasan itu, mereka pulang. Dan masih nyambung juga, gue yang ditinggal sendirian dulu jadi gampang sakit. Buat gerak aja lemes apalagi suruh olahraga. Gak niat sama sekali."

Aku paham kenapa alasan 'bermanfaat' nya Ucok Joki sangat penting dalam pertemanan Sekala. Sebenarnya itu hanyalah kiasan.

"Jadi, Ucok nyaranin lo buat setel lagu keras keras di rumah lo yang sepi, terus ngajak lo nonton film biar waktu lo terpakai, ya... kalo Joki bikin lo sadar kalo olahraga itu penting. Oh! Buat ngisi waktu luang lo juga, kan nonton sepak bola 90 menit tuh sama nonton formula 1 bisa sampe 2 jam."

"Haha... abis makan lo jadi cepet mikir."
Aku memutar bola mata sedikit kesal. Di waktu yang sama makan pangsit ini sudah selesai dan bersiap untuk membuang bungkusnya ke tempat sampah.

"Alasan gue ajak lo temenan," Sekala ikut bangkit dan kini balik badan menghadap kearahku, "adalah karena pertama kali gue liat lo lagi liatin bunga, pada saat itu gue dengar bunyi lonceng."

"Bunyi... lonceng?" Tanyaku lirih berbalikan dengan degup jantungku.

"Iya... waktu itu ada anjing lewat sih."
Sekala pergi tanpa pamit. Hingga bel masuk berbunyi aku masih berdiri memegang sampah dan mencerna perkataan Sekala. Bukan yang terakhir, tapi yang sebelumnya.

Untung ramainya siswa yang kembali ke kelasku buatku sadar dari lamunan, kalo enggak sampai guru datang mungkin aku masih belum juga membuang sampah.

DialoGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang