(6.) Rival Sesungguhnya

68 9 0
                                    

Flashback

Akhirnya, hari yang menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu namun disaat bersamaan juga diharapkan bisa datant lebih lama lagi oleh Ajeng, yaitu hari dimana dirinya harus berturnamen untuk terakhir kalinya dengan kondisi kaki yang masih belum sepenuhnya pulih.

"Sayang, kamu hari ini datang, kan?"

"Arka, pleasee datang. Aku butuh kamu."

"Aku mohon...."

"Aku butuh kamu.."

"Kalau kamu gak datang, jangan harap bisa lihat aku lagi."

Dengan gelisah Ajeng mengirim pesan-pesan itu ke kekasihnya, Sulthan. Baju muvon dan sabuk berwarna biru sudah melekat ditubuhnya ditambah rambut pendeknya yang dikepang dan diikat kebelakang agar tak menghalangi wajahnya dan bisa lebih leluasa bergerak.

Tak henti-hentinya pula Ajeng menggigiti kukunya sendiri akibat rasa gugupnya sembari menunggu namanya dipanggil untuk bertarung di lapangan. Bahkan, ia sendiri belum tau siapa yang akan menjadi lawannya nanti.

Disebrang sana, Sulthan juga gugup. Ia harus memilih untuk pergi menonton pertandingan Ajeng atau pergi menonton Hafidz yang mengikuti lomba debat nasional. "Sialan, kenapa harus di hari yang sama?" gerutunya kesal.

Seragam biru muda khas anak SMA TN  dengan atribut lengkap sudah terpasang sempurna ditubuhnya. Ia yang sedang duduk di bangku caffe dekat sekolahnya masih berfikir keras harus kemana langkahnya melangkah.

"Maaf kalau aku datang telat. Tapi aku janji akan kesana."

Hanya itulah jawaban yang bisa ia berikan pada kekasihnya. Kedua mata Ajeng otomatis terbuka lebar-lebar saat membaca balasan Sulthan.

"Dia pengkhianat! Katanya dia supporter nomer satu ak—"

"Ajeng, bersiap, ya!" sela sang pelatih—Coach Indra, yang menghampirinya agar anak didiknya bersiap untuk turun ke lapangan.

Ajeng secara spontan memasukkan ponselnya kedalam tas, dan langsung berdiri menyambut pelatihnya.

"Siap, Coach!"

"Kaki kamu gapapa, kan?" tanya Coach Indra menatap kaki kanan Ajeng yang baru saja melepas perbannya dua hari yang lalu.

Ajeng mengangguk, "Saya baik-baik saja, Coach!" jawabnya berusaha meyakinkan diri sendiri.

"Lakukan yang terbaik, ya. Papamu menyaksikan disana," coach Indra menunjuk ke arah bangku penonton.

Disaat Ajeng mengikuti arah pandang Coach Indra, benar saja, ia dapat melihat ayah dan ibunya yang duduk di bangku penonton. Ini membuatnya semakin gelisah hingga tangannya bergetar. Baginya, tak peduli menang atau kalah, ia hanya tak ingin orang tuanya menonton pertandingannya sendiri.

Jika ia kalah akan mendapat caci makian tak terhingga, jika ia menang tak ada apresiasi sama sekali. Jadi, bukankah lebih baik kedua orangtua nya diam dirumah dan tak menonton pertandingannya?

Ajeng tak punya waktu banyak, pelatih dan panitia pertandingan telah memberikan satu set pelindung badan, pelindung kepala, dan pelindung tangan berwarna merah padanya. Dilihatnya calon lawannya juga sedang bersiap menggunakan set pelindung berwarna biru.

Dan akhirnya, pertandingan dimulai disaat wasit memberikan aba-aba memulai. Berhubung kekuatan Ajeng ada di kakinya, tanpa ragu, Ajeng langsung menyerang lawan dengan menendang bagian kepala.

Perwira & Sang Ajudan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang