(1). Dokter/Tentara

373 22 3
                                    

"Sul, nanti mau keluar?" tanya salah seorang siswa yang telah mengenakan seragam pesiar dengan rapih dan bersiap-siap untuk keluar dari asrama.

"Gak dulu. Sore ini aku mau laundry." jawab Sulthan kepada teman sekamarnya, yang baru saja mengajaknya pergi.

Setelah temannya pergi, Sulthan segera keluar dari kamar untuk menemui sahabatnya yang berada di kamar sebrang. Sulthan baru saja berbohong kepada temannya yang baru saja mengajak keluar dari lingkungan sekolah di akhir pekan ini. Sebenarnya ia bukan ingin laundry, melainkan berdiskusi dengan salah satu sahabatnya.

"Eh, Sul. Tadi Ajeng nanyain lo." Hafidz langsung membuka suara saat melihat Sulthan dihadapannya.

Sulthan tak menjawab apa-apa, anak laki-laki bertubuh jangkung itu langsung duduk diatas kasur milik Hafidz yang sedang mengerjakan sebuah latihan soal di meja belajar.

"Gimana, Pis? Lo ikut UTBK?"

Hafidz yang semula fokus menggoreskan pensil ke kertas langsung menghentikan aktifitasnya. Dirinya dan Sulthan memang sedang dilanda gelisah belakangan ini karena harus memilih antara mendaftar ke Akademi Militer untuk mengikuti jejak sang Ayah, atau mendaftar fakultas kedokteran PTN untuk mengikuti jejak Ibu mereka yang rekan se-profesi.

"Gue juga bingung, Sul. Gue dituntut jadi tentara sama Papa, dituntut jadi dokter sama Mama. Terus, gue harus apa?"

Dari raut wajah saja sudah dapat mewakilkan jika mereka sangat tertekan dengan ini semua. Persahabatan mereka pun bermula dari kegelisahan yang sama pada saat Sekolah Dasar. Di SD tempat mereka bersekolah dulu, terdapat pohon impian. Dimana setiap siswa-siswi wajib mengisi pohon tersebut dengan impian dan cita-cita mereka. Sulthan masih ingat dengan jelas, kertas milik Hafidz saat itu bertuliskan "Dokmil."

"Dokmil? Wah, hebat, ya, cita-citamu!" puji Sulthan saat menatap secarik kertas berbentuk buah apel yang ada digenggaman Hafidz.

Hafidz melirik pada kertas milik Sulthan yang bertulis, "Dokter/TNI AD." Hafidz yang penasaran dengan maksud tulisan di kertas Sulthan langsung bertanya pada sang pemilik kertas.

"Kalau keduanya bisa di gabung, kenapa enggak?"

Sulthan menghela nafas pelan, "Mamaku dokter, papaku tentara. Jadi, aku bingung harus ikut jejak siapa. Ditambah lagi, aku anak pertama. Mereka menaruh harapan besar ke aku."

Bocah berwajah Arab itu menaikkan sebelah alisnya, "Anak pertama? Dari pasangan dokter dan tentara?". Pertanyaannya barusan dijawab berupa anggukan oleh Sulthan.

"Yang kuat, ya. Aku juga anak pertama, dari pasangan dokter dan tentara. Aku tau bagaimana kebingungan yang kamu rasakan."

Sejak saat itu, mereka mulai bersahabat. Menjadi teman seperjuangan dalam menjalani tahapan seleksi masuk ke SMA berbasis militer yang terkenal di Jawa Tengah, meski saat SMP mereka berpisah karena Hafidz pindah ke Jogja, namun pertemanan mereka tetap berlanjut hingga saat ini sudah dipenghujung waktu. Dimana kegelisahan mereka kembali muncul saat harus memilih antara menjadi tentara atau menjadi dokter, atau keduanya?

"Bukannya dulu lo mau jadi Dokmil, Pis?" pertanyaan Sulthan barusan berhasil memecah keheningan diantara mereka.

"Gue gak mau jadi dokter sebenarnya. Bukan passion dan cita-cita gue, jadi dokter itu berat. Tapi gue juga gak mau buat Bunda kecewa,"

Sulthan menghela nafas frustasi, ucapan Hafidz barusan benar-benar telah mewakili apa yang selama ini mengganjal di hati dan fikirannya.

"Ajeng gimana?" Hafidz mengalihkan topik pembicaraan dengan menanyakan Ajeng, kekasih Sulthan sejak memasuki tahun kedua saat ia bersekolah di SMA berasrama tersebut.

Perwira & Sang Ajudan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang