026

4.2K 251 9
                                    

Darah. Gilang panik ketika melihat darah di seluruh tubuhnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri menelisir setiap sudut tempat yang terasa asing baginya.

Fatah. Terakhir yang Gilang ingat adalah dia sedang berada dalam tawuran dan tengah melarikan diri dari polisi bersama Fatah. Lantas sekarang dimana Fatah? Bukankah tadi mereka bergandengan? Kenapa sekarang telapak tangannya hanya dipenuhi oleh darah? Apa Fatah baik-baik saja?

Gilang berdiri. Dia panik karena seluruh pertanyaan yang terus berputar di dalam kepalanya.

"Fatah!" Gilang berteriak. Gilang berlarian kesana-kemari mencari Fatah, pemilik nama yang sudah dia teriaki berulang kali sejak tadi. Namun, dia tidak juga berhasil menemukan Fatah. Hatinya semakin gelisah karena takut jika darah yang ada di tubuhnya ini mungkin saja adalah darah milik Fatah. Pikirannya menerawang dengan kekhawatiran, bagaimana jika Fatah sedang dalam masalah?

"Brengsek," Gilang mengumpat frustasi.

Rasa sakit perlahan mulai menjalar di tubuhnya. Sangat sakit seperti tubuhnya akan hancur. Gilang jongkok, karena tidak sanggup merasakan sakit yang luar biasa.

Darah segar keluar dari luka di lengan atasnya, mengalir sampai ke telapak tangan. Itu menjawab kekhawatiran Gilang tentang darah siapa yang ada ditubuhnya. Dia bisa sedikit bernapas lega karena setidaknya itu bukan darah milik Fatah. Karena rasa paniknya dia sampai melupakan bahwa saat tawuran tadi dia tertusuk oleh senjata tajam.

Pandangan Gilang mulai terlihat kabur. Beberapa kali dia mengedipkan mata untuk mencoba memperjelas penglihatannya, namun semuanya tetap buram di matanya. Secara perlahan, apa yang awalnya hanya buram berubah menjadi berputar bersamaan dengan kepalanya yang mulai terasa pusing, telinganya juga berdengung sampai terasa sakit. Hingga akhirnya pandangan Gilang total gelap.

_____________

"FATAH!!"

Gilang mendapatkan kembali kesadarannya. Nafasnya ngos-ngosan dengan dada yang bergerak naik turun dengan cepat.

"Kaget anjrit. Kenapa dah lu baru sadar malah teriak-teriak gitu?"

Gilang menoleh pada Argam yang duduk disebelahnya dengan tangan yang menyilang di depan dada.

Gilang tidak memperdulikan Argam, dia hendak turun dari bangsal yang dia tempati, namun rasa pusing berhasil menghentikan pergerakannya. Meski begitu, Gilang tetap memaksakan diri untuk bangkit. Dia berjalan tertaih dengan satu tangan membawa tiang infus.

Argam buru-buru mengikuti Gilang yang sudah berjalan sampai di pintu. "Woy, lu mau kemana? Lu baru sadar anjir"

Gilang mencengkram lengan Argam dengan kuat sebagai tumpuan untuk tubuhnya yang masih terasa lemas. "Fatah....mana Fatah?"

Argam dengan tega menarik tangannya kembali, beruntung Gilang sempat berpegangan pada dinding karna jika tidak maka sudah dipastikan dia akan terjatuh. Argam merotasi kedua bola matanya karena jengah dengan tingkah ketuanya yang membuatnya frustasi. Bahkan suara Gilang masih terdengar bergetar dan serak karena belum minum air sejak bangun, tetapi dia tetap kukuh ingin mencari Fatah. Argam menggeleng heran dengan tingkat bulol orang dihadapannya ini.

Pintu terbuka. Rian yang baru masuk langsung melebarkan matanya kaget melihat Gilang yang sudah berdiri membawa selang infus. "Loh Bang Gilang kapan sadarnya? Terus ini mau kemana?" tanyanya langsung.

"Fatah...mana?"

Rian melirik Argam dengan kedua alis yang bertaut bingung. Argam hanya bisa menghela nafasnya. "Anterin aja lah sono ke tempat cowoknya!" kata Argam pada akhirnya.

"Bener-bener ya lo, Bang! Tunggu bentar lah gua ambilin kursi roda dulu, gua takut jahitan dipunggung lo kebuka kalo kebanyakan gerak"

Oh benar. Gilang baru merasakan ngilu di lengan dan punggungnya.

Be Mine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang