2

54 8 1
                                    

"Bu, hari ini ada tugas? Tugas kita sudah banyak Bu dari mapel yang lain."

"Ibu makin cantik kalau ga kasih kita tugas."

"Barang siapa yang menyusahkan orang lain, maka hidupnya akan disusahkan juga nantinya. Ibu ga mau kan hidupnya susah?"

Alina tersenyum, sudah biasa mendengarkan protesan siswa yang tidak akan pernah habis. Protes tugas, modus agar tidak ada tugas, dan sebagainya, segalanya sudah mereka lakukan dan Alina sudah paham masalah itu. Ia hanya tersenyum lalu mengambil spidol, Tugas Matematika.

Satu kelas mengeluh melihat tulisan itu di papan diikuti dengan beberapa nomer di bawahnya. Protesan itu tidak berlangsung lama karena selanjutnya mereka sudah mulai sibuk mencatat lalu bergumam pakai rumus yang mana.

Setelah menyelesaikan tulisannya, Alina menyimpan buku matematika miliknya dan keluar kelas. Ia menuju kantor dan menemukan Pak Dikta sudah duduk disana bersama Bu Ami. Pak Dikta yang melihat kedatangan Alina melambaikan tangan lalu menyuruhnya mendekat.

"Selamat pagi, Alina. Sudah siap mau dikenalin cogan ga?"

Bu Ami yang mendengar candaan Pak Dikta tertawa kemudian membalas, "Alina lagi sibuk menata masa depan dulu, Pak. Cari duit dulu karena ternak tuyul sama ngepet dilarang agama."

Alina memberikan dua jempolnya ke arah Bu Ami lalu mengambil kelengkeng yang memang sudah disiapkan sebagai camilan oleh Pak Dikta. Pasti Bu Sarah yang nyuruh, pikir Alina.

"Bahas apa bapak ibu?"

"Bahas tentang sekolah tapi karena ada kamu, ayo bahas kamu saja."

"Pak Dikta nih sesekali digosipin jangan saya aja."

"Kalau saya kan sudah kadaluarsa yang mau dibahas. Kalau kamu kan fresh."

"Buah kali ah Pak, fresh."

Bu Ami yang mendengar perdebatan dua orang di depannya ini kembali tertawa, "Kalian ini kalau kumpul pasti begini ya, debatnya ga selesai-selesai."

Pak Dikta melihat Alina lalu menatap Bu Ami, "Ponakan saya yang satu ini memang random kelakuannya."

"Pak Dikta juga random kok Bu. Kalau saya mampir ke rumahnya pasti ada aja tingkahnya, nyolong mangga rumah tetangga."

Pak Dikta memutar matanya malas, "Tetangga yang kamu maksud itu rumah kamu sendiri."

Alina dan Bu Ami kembali tertawa. Awalnya tidak ada yang banyak tahu kalau Alina adalah ponakan Pak Dikta. Alina bekerja di sekolah ini melalui seleksi, ia tidak pernah membawa nama Om nya. Pak Dikta juga setuju, ia tidak ingin Alina dikenal bekerja di sekolah karena namanya. Setahun setelah ia bekerja barulah mereka tahu, itupun tidak sengaja karena saat beberapa guru ingin main ke rumah Pak Dikta, ia melihat Alina yang tengah naik pohon mangga dan memanggil Pak Dikta untuk mengambil mangga yang sudah jatuh.

Mereka tahu, keluarga Pak Dikta dan Alina terkenal karena kerandomannya.

"Jadi, bahas apa nih tadi?" Alina mengalihkan pembicaraan.

"Kepo."

Alina terkekeh, "Om Dikta, aku nanti laporin sama Tante Sarah ya."

Pak Dikta mendengus kemudian berkata, "Sekolah kita lagi kekurangan dana. BOS kita memang sudah cair tapi itu tidak seberapa dengan rencana sekolah ke depannya. Pak Andi kembali memakai uang pribadinya agar para siswa tetap mendapatkan pendidikan yang lebih baik."

"Kita juga gajian ga tiap bulan, harus menunggu pencairan BOS dan itu bisa beberapa bulan. Disini tidak semua sertifikasi dan harus cari pemasukan lain untuk memenuhi kebutuhan lainnya."

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang