9

33 10 1
                                    

"Dan ada yang kamu suka sekarang?"

"..."

"Abi?"

Abi tersenyum kecil, "Aku tidak punya waktu untuk suka sama orang, Alina. Kalau kamu?"

Alina melanjutkan makannya, "Aku tidak ingin menyukai orang."

"Jadi apa yang kamu suka?"

"Makanan."

Abi tertawa kemudian melanjutkan makan, "Makanan bukan untuk disukai tapi kebutuhan. Jadi, gimana pekerjaan kamu hari ini?"

Alina mengingat kejadian hari ini di sekolah, Pak Andi dan Pak Dikta yang melow karena siswanya yang lagi bucin, dan Alina yang kesal karena Azka lupa membelikan ice cream untuknya.

"Banyak yang terjadi di sekolah. Siswa yang protes karena soal matematika yang banyak, persiapan beberapa lomba lalu ... "

Alina menghentikan pembicaraannya membuat Abi bertanya, "Kenapa?"

Alina menatap Abi cukup lama kemudian melanjutkan, "Siswa aku ada yang prestasinya menurun karena lagi bucin."

Abi terkekeh, "Kamu pusing karena itu?"

Alina mengangguk membuat Abi kembali bertanya, "Kenapa?"

"Prestasi siswa menurun, pendidikannya di abaikan dan itu berakibat ke dirinya nantinya. Sekolah juga bisa mendapatkan dampaknya. Abi, persyaratan yang kamu berikan, bagaimana kalau ternyata sekolahku tidak bisa memberikan hal terbaik di laporan selanjutnya kepada perusahaan kamu?"

"Kalau sekolah kamu tidak bisa memenuhi persyaratan yang diberikan, kamu tahu konsekuensinya, Alina. Pengurangan dana atau pemutusan pemberian bantuan."

Alina mendesah.

"Berapa banyak siswa yang menurut kamu bisa berdampak buruk ke sekolah? Tidak semua siswa kan? Masih ada siswa lain yang bisa memberikan dampak ke sekolah, Alina."

"I know, aku juga berkata seperti itu ke pihak sekolah. Masih ada siswa lain."

Abi mengangguk, "untuk siswa yang lagi bucin, mereka akan tahu nantinya kalau pendidikan jauh lebih penting daripada sekedar bucin. Kita tidak menyalahkan mereka yang bucin, tapi kita hanya memberikan arahan untuk masa depan mereka."

Alina menyetujui perkataan Abi.

"Jadi, apa yang kamu lakukan selanjutnya?"

"Pertama, aku akan bicara kepada mereka yang bucin, memberikan arahan untuk tetap memikirkan pendidikan, kalau mereka tidak peduli, tidak apa-apa. Kedua, mulai mencari bibit-bibit baru yang lebih memikirkan pendidikan. Semua kesempatan terbuka untuk semua siswa. Guru akan memberikan dorongan kepada mereka."

"Ketiga?"

Alina menggeleng, "Ga ada."

"Ketiga, bukan salah para guru jika semua usaha dilakukan tapi hasilnya tidak sesuai."

Alina tersenyum lebar, "Kamu tahu kalau kalimat kamu barusan membuat aku tenang, Abi? Makasih. Tidak banyak orang yang memahami galaunya jadi guru."

Abi diam, menunggu Alina meneruskan kalimatnya.

"Jika ada siswa yang bermasalah, gurulah yang disalahkan. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan siswa bermasalah dan memang sekolah bisa menjadi salah satu faktornya. Tapi tidak menutup kemungkinan faktor lainnya juga lebih banyak andil kan, Abi?"

"Bukan bermaksud membela diri, tapi begitu kenyataannya. Jika ada siswa yang bermasalah, orangtua kadang menyalahkan guru dan beranggapan kalau kita tidak memberikan pendidikan yang baik. Mereka lupa, Abi. Pendidikan juga berasal dari keluarga. Harus ada kerjasama baik dari pihak keluarga dan guru."

Abi bisa melihat kepalan tangan Alina yang mungil. Ia kemudian menyodorkan minuman Alina dan meminta perempuan itu untuk segera minum.

"Kamu pernah ketemu orang tua yang seperti itu?"

Alina mengangguk, "Pernah ada masalah di sekolahku. Aku tidak akan memberitahu kamu apa itu."

"Kenapa?"

"Karena kamu akan berpikir ulang untuk meneruskan memberikan bantuan."

Abi terkekeh, "Aku tidak seperti itu, Alina. Masalah sekolah kamu sebelum kita menandatangani MoU, benar?"

Alina mengangguk.

"Jadi aku tidak akan mempermasalahkan hal itu."

"Kalau semisal itu terulang kembali?"

"Berikan alasan yang masuk akal agar aku tidak menarik pendanaan."

Alina berpikir sebentar lalu mengangguk.

"Setiap pekerjaan selalu ada konsekuensi, Alina. Seperti siswa kamu yang bucin. Mereka harusnya tahu kalau bucin itu seperti mata pisau yang memiliki dua sisi, bisa saja itu membunuh masa depan mereka atau membantu mereka. Tergantung langkah apa yang mereka ambil."

"Seperti sekolahku dan perusahaan kamu, bisa membantu kita atau sebaliknya."

Abi mengangguk. Tidak terlalu sulit berbicara dengan Alina. Perempuan di depannya pintar dan Abi tidak perlu membuang waktu hanya untuk menjelaskannya.

...
...
...

Kania mengambil satu cup ice cream dan membawanya ke depan Televisi dimana Alina sudah duduk disana, nonton Upin Ipin. Ia meletakkan ice cream ke depan Alina kemudian ia ikut duduk di samping Alina sembari menunggu suaminya pulang.

Kania menarik Alina untuk menyenderkan kepalanya ke pahanya kemudian ia mengelus rambut putrinya dengan sayang. Semua akan baik-baik saja selagi melihat Alina yang tertawa seperti ini. Tak ada yang ia inginkan kecuali ini, putrinya yang tertawa.

"Kamu sore tadi kemana?"

"Pergi makan sama teman, Ma."

"Ga bareng Azka?"

"Enggak, Azka sibuk sama Gea."

"Kamu gapapa kalau Azka sibuk sama Gea?"

Alina mematikan televisi lalu menghadap ibunya, "Aku gapapa, Ma. Azka sudah lama jomblo dan Gea anak baik, Ma. Aku seneng Azka bareng Gea."

"Walaupun kamu akhirnya dilupakan?"

"Semua akan seperti itu, Ma. Dilupakan atau ditinggal. Kalau pada akhirnya aku ditinggalkan Azka berarti aku bukan prioritas Azka, Ma. Aku tidak mungkin menarik Azka dari Gea, aku tidak sejahat itu."

"Perasaan kamu gimana?"

Alina menatap mata ibunya kemudian tersenyum, ia sangat tahu kalau ibunya sangat khawatir.

"Aku baik, Mama. Jangan khawatir begitu ah, ga nyaman aku liatnya. Lihat, aku baik-baik saja. Kalau aku sedih, ga mungkin aku keluar makan sama temenku tadi."

"Jadi, kamu makan apa tadi?"

"Bebek goreng."

Kania menatap Alina kemudian menarik tangan anaknya untuk duduk di sampingnya. Ia sangat penasaran dengan acara makan anaknya.

"Teman kamu baik?"

Alina mengangguk kemudian tertawa kecil, "Dia sering traktir aku makan."

"Jadi kamu mau makan sama dia karena di traktir?"

"Iya."

"Selain karena kamu ditraktir?"

Alina memiringkan kepalanya, "Nasib Alina dan sekolah ada di dia, Ma. Abimanyu Adyaksa tidak boleh ditolak, Ma. Aku menjalin hubungan baik untuk sekolahku."

"Abimanyu Adyaksa?"

"Iya, Ma. Teman yang mengajakku makan bebek goreng tadi sore."









Gimana gimana?
Pada suka?

Jangan lupa tombol bintang sama komentarnya ya teman-teman.

Aku balik update kalau lagi ga sibuk ya.

See you di chapter selanjutnya.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang