Sudah waktunya menjemput ciwi-ciwi kesayangan. Jam dipergelangan tangannya menunjukkan waktu setengah dua siang. Itu tandanya ada sekitar 30 menit lagi waktu yang tersisa untuk dirinya gunakan dalam berkendara.
"Cabut?!"
Leonardo Wijaya— Pemuda itu merupakan salah satu sahabat Xavier. Mereka dekat ketika keduanya baru mengenakan seragam putih abu-abu.
Selain Leo, Xavier masih memiliki satu sahabat lagi. Fransisca Gemintang namanya. Gadis berzodiak gemini itu adalah sahabat kecil Leo yang mau tidak mau, masuk ke dalam lingkaran termenanan mereka.
"Yoi.. Cewek gue bentar lagi balik sekolah."
Leo terbahak. "Emang udah diterima?" tanyanya, menggoda. Siapa yang tidak mengetahui perjuangan Xavier. Pemuda itu menolak berpacaran dengan gadis lain, selagi menanti pujaan hatinya peka terhadap perasaannya.
"Sialan lo!" Umpat Xavier, meninju pundak Leo. Ia mulai merapikan buku-buku yang dirinya bawa untuk kerja kelompok.
"Vier mau balik? Gue nebeng, boleh ya?!"
"Sorry, Gem. Kita nggak searah. Gue mau jemput Ayang sama Princess dulu soalnya. Minta anter Leo aja udah." Setahu Xavier, Gemintang pindah rumah. Dulunya dia dan Leo bertetangga.
"Oh, jemput si bocil."
"Gem," tegur Leo, memperingati. "Sana berangkat. Keburu cewek lo dijemput bokapnya," timpalnya kembali membuka mulut, kali ini berbicara kepada Xavier.
"Kirim gue aja ntar sisanya, Le! Biar gue yang finishing."
Xavier tidak akan menanggapi aksi Gemintang. Ia tahu Gemintang menyukainya. Gadis sepantaran dengannya itu juga pernah menyatakan perasaannya. Hal tersebutlah yang membuatnya sedikit membentangkan jarak. Mereka masih tetap berteman, tapi tak sedekat sebelumnya.
Seharusnya Gemintang mengerti, jika di dunia ini, tidak ada gadis yang dirinya inginkan, melebihi keinginannya untuk memiliki Aurelia. Percuma saja mereka berlomba-lomba menarik perhatian, hatinya sudah dicuri sejak lama. Bahkan sebelum mengenal mereka semua. Tahta Aurelia terlalu tinggi untuk bisa mereka gantikan.
Xavier mendengus ketika memasuki mobilnya. "Obsession or not, I don't care!" Monolognya setengah mengeram. Andai bukan karena menghargai Leo, mungkin dirinya sudah mengenyahkan eksistensi Gemintang.
Gadis itu pernah dengan bangganya mengemukakan spekulasi. Menilai cintanya yang suci sebagai obsesi belaka. Katanya ini hanyalah bentuk perasaan tertantang karena ia tak juga bisa mendapatkan Aurelia.
Tahu apa Gemintang! Gadis itu baru mengetahui perasaannya belum lama ini. Dia merasa begitu spesial karena dirinya tak menolak cintanya secara frontal. Menganggap jika mungkin saja dia masih memiliki kesempatan.
Cih! Never, ever! Karena obsesi atau bukan, Xavier tidak akan melepaskan Aurelia meski sudah memilikinya. Xavier mengenal dirinya sendiri. Ia juga mengenal seberapa dalam rasa cinta yang dirinya punyai untuk bocil kesayangannya.
Beruntung jalanan cukup lenggang. Xavier berharap Om Jeno-nya terjebak macet atau terjadi apalah, yang membuat pria itu belum sampai di sekolah. Seharian ini ia belum bertemu dengan Aurelia. Ia rindu setengah mati.
"Anjinglah!" Xavier memukul roda kemudi. Orang yang dirinya harapkan kenapa-napa justru bertengger penuh pesona di depan gerbang sekolah.
Xavier tidak akan membiarkan Aurelia dibawa pulang. Ia ingin kencan romantis walau ada orang ketiga ditengah-tengah mereka. Adiknya hanya perlu diberikan sedikit saja sogokan agar mau memberikan mereka ruang.
"Om.."
"Jemput Viera?" tanya Jeno, melepaskan kacamata hitamnya.
"Nggak!" Pekik Xavier membuat Jeno menaikkan satu alisnya, "Xavi mau jemput Aurel. Om better balik aja. Belum waktunya pulang kerja, ngapain kelayapan! Aurel serahin aja ke Xavi, Om."
Jeno berdecih. Menyerahkan putri kesayangannya ke tangan kadal buntung merupakan tindakan yang seharusnya dihindari. Bisa-Bisa putrinya tidak pulang ke rumah.
"Om nggak percaya kamu, Xav!"
"Loh, kena-why, Om?! Gara-Gara Xavi belum naik haji?!"
Jeno memutar bola matanya. Xavier tumbuh bersama teman-temannya. Terhitung ada tiga manusia somplak, termasuk papa anak itu. Lihatlah betapa suksesnya lingkungan membentuk karakter Xavier sekarang. Perilakunya sudah serupa Niel, Rega dan Zikri.
"Nggak ada hubungannya kamu naik haji sama Om yang bakalan kasih izin kamu buat jemput Aurel. Lagian naik haji bukan jaminan orang bisa dipercaya."
"Terus apaan dong, Om?! Saham? Xavi kasih deh."
Jeno mendelik. "Sembarangan kamu!" hardiknya. "Anak Om nggak dijual! Lagian kamu tuh, Xav. Masih banyak cewek, kenapa harus anak Om?"
Xavier mengedikkan bahunya. Ia juga tidak tahu. Ia masuk ke dalam kamar karena disuruh menjaga bayi oleh mamanya. Tahu-tahu jatuh cinta. Siapa yang akan mengira kalau dirinya suka dengan si bayi yang baru saja lahir ke dunia.
"Cari yang lain aja, Xav. Aurel masih kecil. KTP aja belum punya."
"Xavi tunggu sampe punya."
"Om nggak mau, anak Om nikah muda."
"Ya udah tunangan dulu aja kalau gitu. Nikahnya nungguin dia agak tua."
"Kamunya bangkotan!"
"Xavi operasi plastic ke Korea. Gampang Om. Duit banyak jangan kayak orang susah!"
Perdebatan dua orang itu berhenti saat seorang gadis memanggil Jeno riang. Dia melongokkan tubuhnya dari dalam sebuah mobil, melambaikan tangannya.
"PAPAAA! Aurel mau jalan-jalan dulu. Bye-Bye, Papaaa!!"
"Heh!" Teriak keduanya, kompak.
"Abang... Abang! Queennya Abang pergi sama temen Viera. Anak basket, Abang! Kejar-Kejar!" Seloroh Viera panik, karena gagal menjaga calon kakak iparnya. Ia kecolongan dan semua ini gara-gara teman sekelasnya yang meminjam buku catatan.
"YA AMPON! NIH BOCIL MERESAHKAN BANGET DAH AH!"
"Dadah Om Jeno.. Kita ngejar Dedek Aurel dulu ya.."
Jeno menepuk keningnya. Bagaimana bisa dirinya melepaskan Aurelia. Anaknya saja masih seperti anak Sekolah Dasar begitu. Bisa-Bisa nasibnya nanti sama persis dengan Zeusyu. Menikah karena terpaksa.
"Aurel, Sayang. Kamu kayak maling jemuran yang diuber-uber warga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Stamp
RomanceXavier Tirto- Pemuda yang menduduki bangku perkuliahan itu tidak tahu alasan mengapa dirinya bisa masuk ke dalam kategori pria penyuka adek-adekan. Gadis yang dirinya taksir bahkan berusia 2 tahun lebih muda dari adik perempuannya. Kala itu Xavier...