"Dek— Yuk," panggil Xavier, akhirnya memperbolehkan Aurelia dan Viera turun dari mobil. Ia sudah mengosongkan salah satu kedai, memesan secara eksklusif untuk dua jam kedepan dengan pembelian yang tidak main-main. Seratus item Xavier borong demi keamanan mental beserta fisiknya.
Kali ini Xavier belajar dari pengalaman. Pengunjung lain dirinya minta untuk melakukan pembelian melalui jalur khusus agar tidak mengganggu Queennya.
"Selamat datang, ingin memesan apa, Kak?"
"Sebentar ya, Mbak," jawab Aurelia. Gadis itu melihat kepada papan menu yang tergantung.
Satu menit,
Dua menit,
Hingga tiga menit berlalu...
"Aurel mau pesen.." Jarinya yang membentuk tanda ceklis mulai bertengger di bawah dagunya. Hal tersebut membuat Xavier dan Viera menahan napas. Suatu tindakan yang memang kerap terjadi.
"Em... Ice..."
Mulut kakak beradik itu terbuka, sedikit menganga, ingin mengatakan 'yes,' secara bersamaan. Namun ketika menyadari Aurelia menggantung kalimatnya, rahang mereka tidak menutup seakan waktu tengah menghentikan dimensi tempat dimana mereka berada sekarang.
"Aurel masih bingung. Sebentar. Boleh mikir dulu kan, Mbak? Tempatnya sepi kok. Ya, ya, ya?!"
Perlahan napas Xavier berhembus, patah-patah layaknya orang kesulitan bernapas. Bedanya ia tak sedang meraup udara, melainkan mengeluarkannya bertahap.
Mengapa ia harus bereaksi. Bukan sekali dua kali penampakan seperti ini terpampang di depan matanya. Ia bahkan sudah mengantisipasi perilaku calon kekasihnya mengosongkan space gerai.
"Nggak boleh ya, Mbak?" tanya Aurelia dengan mimik muka sedihnya. Mbak yang berangkap sebagai pelayan dan kasir itu tak menjawab pertanyaannya— dan Aurelia menangkap jawaban di otak kecilnya.
"Ya udah Aurel pilih..."
Mengetahui Aurelia akan asal pilih, mata Xavier melotot. Memberikan kode agar si pelayan memperbolehkan apa pun yang gadis di depan mereka kehendaki. Ia membayar mahal memang untuk satu hal ini.
"Bol-leh dong, Mbak. Silahkan Mbak. Saya siap nunggunya kok." Tergagap pelayan yang bertugas akhirnya membuka suaranya. Ia tidak mau kehilangan pekerjaan. Pemuda yang bersama dengan pelanggannya ini adalah pemborong yang mengosongkan stok display hari ini.
Lima belas menit hampir berlalu. Pekikan 'AHA,' dari mulut Aurelia mengakhiri penantian panjang mereka. Gadis itu memesan satu item. Es krim best seller yang menjadi kegemaran customer lainnya.
"Abang Adek juga mau itu. Samain aja biar cepet."
"Kami pesan itu, sisanya kalian bagiin aja ke pelanggan yang dateng," titah Xavier sebelum menggandeng lengan Aurelia untuk menduduki salah satu kursi.
"Abang kenapa nggak bayar? Nggak punya yang ya? Aurel ada nih. Papi kasih banyak belum Aurel pake. Tadi Aurel dijajanin sama Abang Nathan." Aurelia mengeluarkan dua lembar uang jajannya.
Gemas akan kepedulian Aurelia, Xavier tak bisa menahan jari-jari tangannya. Ia mencubit pipi sang gadis. "Abang udah bayar. Kamu simpen aja," tuturnya dengan bibir menyunggingkan senyuman.
Seandainya saja waktu bisa berhenti, Xavier ingin menghentikannya. Ia mau bersama Aurelia untuk selama-lamanya. Menyimpan gadis itu untuk dirinya sendiri tanpa membaginya dengan Jeno dan yang lainnya.
"Ih, pipi bakpao Aurel nanti kempes."
"Abang tiup biar melembung lagi."
"Ezzz," komentar Viera sembari bergidik, "emangnya Dedek Aurel balon, ditiup langsung gembul lagi." Anak remaja ingusan itu tidak mengetahui maksud perkataan kakaknya. Pola pikir mereka tentu berada di taraf yang berbeda. Viera dan Aurelia masih begitu polos, sedangkan Xavier berada pada fase yang mengenal hal-hal berbau seksual.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Stamp
RomanceXavier Tirto- Pemuda yang menduduki bangku perkuliahan itu tidak tahu alasan mengapa dirinya bisa masuk ke dalam kategori pria penyuka adek-adekan. Gadis yang dirinya taksir bahkan berusia 2 tahun lebih muda dari adik perempuannya. Kala itu Xavier...