Sekolah

295 36 1
                                    

Chan adalah seorang perencana yang handal. Pria berusia tiga puluh tahun itu sudah merpersiapkan bekal pendidikan untuk anak laki-lakinya. Chan sudah lebih dulu mencari tahu sekolah yang terbaik di kota dimulai dari tingkat Playgroup hingga Universitas. Semuanya Chan pilih dengan baik. Tentu saja akan didiskusikan dengan Minho dan Felix sebelum benar-benar mendaftar. Selain ingin yang terbaik, Chan juga ingin anaknya merasa nyaman dan aman.

"Mas sudah ada beberapa pilihan sekolah, kamu tinggal tentukan mau yang mana."

Sepasang suami itu sedang bersantai di ruang keluarga sambil memperhatikan Felix yang sedang bermain dengan kertas dan juga crayon baru miliknya yang tadi sore Chan belikan sebagai hadiah untuk Felix karena sudah sembuh dari demamnya.

"Aku percaya sama pilihan kamu, tapi kita harus tanya Felix dulu. Dia mau pilih sekolah yang mana."

Minho tidak mau sembarangan memilih. Dia ingin putranya itu belajar membuat keputusan, tidak semata-mata menuruti permintaan orang tua. Pria yang lebih muda sandarkan kepalanya di lengan milik suaminya yang memang sengaja terbuka, menyambut tubuh kecil Minho untuk masuk ke pelukannya. Sebuah kecupan di dahi Chan berikan yang diterima tanpa penolakan.

"Mau survey dulu? Kita lihat-lihat sekolahnya, nanti biar Felix yang pilih sendiri."

"Boleh. Kapan kamu kosong, mas?"

"Lusa, aku nggak ada jadwal sidang atau ketemu client."

Oh omong-omong soal sidang, Minho jadi ingat kasus yang Chan sedang tangani sebelumnya.

"Kasus penipuan itu sudah selesai, mas?"

Chan terkekeh, gemas dengan suaminya yang selalu ingat dengan baik kasus yang sedang ia tangani. "Sudah, sayang. Tinggal tunggu putusan. Bukti-buktinya kuat, saksinya juga."

Syukurlah. Minho senang dengarnya. Pasalnya ia tahu tentang kasus yang belakangan ramai diperbincangkan. Dirinya juga hampir menjadi korban kalau saja Chan tidak mengingatkan untuk tidak membeli tiket sembarangan. Apalagi jika bukan dari pihak resmi.

"Bapak," panggilan dari Felix membuat atensi Chan beralih penuh pada putra semata wayangnya. Chan bahkan melepas pelukannya pada Minho untuk menyambut tangan si kecil yang diulurkan padanya. Diangkatnya tubuh ringan Felix untuk naik ke pangkuan.

"Kenapa, sayang?" Tanyanya lembut. Tangan besarnya merapikan rambut Felix yang menutupi matanya.

"Lici ngantuk, bapak." Si kecil mengadu pada ayahnya. Tubuhnya yang memang sudah lemas tidak bertenaga ia sandarkan sepenuhnya pada badan tegap milik sang ayah. Matanya sudah sayu, tidak lagi sanggup terbuka lebar.

Dua orang dewasa itu lantas terkekeh gemas melihat tingkah manis putranya. Chan beri kecupan di puncak kepala si kecil sebelum kemudian mengusapnya lembut.

"Mau bobo sama bapak?"

Dalam kantuknya Felix masih bisa menganggukkan kepala.

"Peluk." Satu kata yang terucap sebelum dirinya benar-benar terlelap. Maka dengan hati-hati Chan bawa tubuh kecil itu ke dalam gendongannya untuk berpindah ke kamar.

Untuk malam ini, Chan biarkan si kecil kembali tidur bersamanya dan Minho. Dengan posisi Felix berada di tengah, Chan di sisi kiri dan Minho di sisi kanannya.

"Selamat tidur, jagoan."

"Selamat tidur, sayang."

Ucapan selamat malam untuk dua orang tersayang dalam hidupnya Chan ucapkan, ditambah dengan satu ciuman singkat di kening suami dan anaknya.

▪︎▪︎▪︎

"Sekolah?"

Felix baru selesai dengan menu sarapan paginya saat Minho dengan perlahan menjelaskan kepada putranya mengenai rencana yang tadi malam mereka bahas.

Cutie n Old Man (Minchan Ft. Felix)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang