33. YOU ARE ENOUGH

19.3K 1.6K 35
                                        

Mata Danisa membelalak. Untuk pertama kalinya, ia sedekat ini dengan samudera. Dagu Samudera berada tepat di puncak kepala Danisa. Dua lengannya memeluk Danisa begitu erat dari pinggang sampai perut.

"Ngapain peluk-peluk, Sam?" tanya Danisa risih.

"Kalau nggak gini, lo akan kabur lagi." Samudera menarik napas. "Dan gue nggak akan mungkin cepat untuk ngejar lo."

Danisa berdecak kecil. Ia seperti tersindir.

"Gue nggak akan balik sampai masalah ini selesai. Gue bukan tipe orang yang kayak gitu." Samudera berkata pelan nyaris seperti bisikan.

Danisa tak bisa menjawab. Pelukan itu adalah gestur paling intim yang pernah ia lakukan bersama laki-laki selain keluarganya.

Oke, Danisa pernah ciuman dengan Samudera. Tetapi, tidak dengan tubuh menempel sedekat ini, tidak dengan Danisa yang bahkan bisa mendengar suara degup jantung Samudera.

"You deserve someone better." Danisa mendesis pelan.

"And by someone better means...?"

"Everyone but me." Danisa menahan napas saat berucap demikian.

"Alasannya?" tanya Samudera dengan begitu lembut.

Danisa menunduk menatap lengan Samudera yang masih mengikat erat dirinya. "Sam... Gue banyak dengar tentang lo." Ia berkata serak. "Gue nggak akan secantik mantan-mantan lo atau cewek-cewek lain yang mungkin akan lo temui nanti."

Helaan napas Samudera mengenai rambut-rambut Danisa. "Lalu, cewek cantik itu kayak apa?"

"Yang tinggi, putih, langsing, yang mukanya proporsional, yang nggak kayak gue," racau Danisa.

Samudera terkekeh pelan. "Itu standar siapa, sih?"

"Hm?"

"Standar siapa, gue tanya?" tantang Samudera lagi.

"Ya, standar semua orang lah! Mana ada Beauty Pageant badannya kayak gue." Danisa menunduk sambil menatap tubuhnya sendiri.

Dengan tinggi badan 160 sentimenter dan berat 53 kilogram, sebenarnya, Danisa tidak gemuk. Indeks massa tubuhnya masih dalam rentang rata-rata. Hanya saja, tak sekurus model atau artis-artis yang ada di layar kaca.

"Mantan-mantan lo nggak ada yang jelek. Bahkan Isabella yang secantik itu aja ngejar lo. Kakak lo dapat cewek secantik Gwen. Gue? Gue nggak secantik mereka. Nggak sepopuler mereka juga." Tangis Danisa nyaris pecah. Ia berusaha menahannya terus menerus, tetapi suaranya yang serak tak bisa ia hindari lagi. "Gue cuma cewek yang dirundung di sekolah. Nggak ada yang mau bertemen sama gue. Gue aneh, jelek, semuanya! Lo nggak seharusnya sama gue!"

Samudra diam. Ia membiarkan Danisa sebentar agar gadis itu sedikit lebih tenang.

"Sa, pertama, lo nggak jelek." Nada Samudera terdengar tegas. Ia seolah tak ingin disela. "Standar kecantikan itu subyektif. Dan menurut subyektifitas gue, lo cantik. Kalau lo mau bandingin diri lo sama Isabella atau Gwen, lo seharusnya tahu berapa dalam mereka merogoh kantong cuma untuk perawatan dan permak ini itu. Mungkin nggak sampai operasi tapi, rhinoplasty, filler, botox, thread lift, you name it!"

Danisa menelan ludah. Ia tahu. Ia hanya tetap merasa kecil.

"Kedua, lo ngomongin badan. Let me get this straight, for every single boys at school, your body is something to die for! Semua orang ngomongin lo, apalagi habis party-nya Gwen." Samudera berucap cepat. "Gue nggak mau sexualize lo, jadi, gue akan berhenti sampai sini, tapi lo ngerti maksud gue dengan baik, kan? Boys love hourglass more than those rectangle one."

Samudera mengeratkan pelukannya.

"Dan yang terakhir, yang terpenting, lo nggak aneh. Lo spesial. Gue nggak butuh topik buat ngobrol sama lo. Kita bisa ngomongin apapun. Wawasan lo luas banget, Sa. Lo nggak sesempit cewek-cewek lain di luar sana yang cuma ngerti makeup sama baju atau gosip murahan. Dan itu alasan utama gue jatuh cinta sama lo."

Kepala Danisa menggeleng. "Lo kayak gini karena lo masih nggak bisa jalan. Lo sendirian dan gue ada buat lo. Kalau lo bisa punya teman lagi, kalau lo bisa jalan lagi, apa lo akan memilih gue?"

Samudera kini tak menjawab dengan cepat. Ia tampak berpikir. "Memang... memang ini semua karena kaki gue cacat."

Kan! Danisa ingin berucap demikian. Namun...

"Karena kaki gue cacat, gue ketemu lo, melihat orang yang nggak pernah gue lihat selama ini. Melihat sisi yang nggak pernah gue ketahui. Kenalan sama orang kayak lo yang selalu sendirian." Samudera berkata lagi. "Proses ini membuat gue kenal sama lo dan membuat gue buat jadi orang yang berbeda."

"Lo bakalan pergi kalau lo udah bisa jalan lagi, kalau lo udah bisa main basket lagi, kalau semua cewek ngejar lo lagi." Danisa mengutarakan asumsinya. "Lo akan cari cewek yang lebih sepadan buat lo."

"Hm... kayaknya nggak." Samudera tertawa kecil. "Yang ada, kalau gue bisa jalan lagi, gue makin nggak sabar untuk berlari ke arah lo."

Danisa memutar bola mata. Gombalan yang sangat receh, tetapi, pipi Danisa tetap saja memerah.

"Gombal lo!"

"Sa, lo lihat deh, dua tangan gue nggak megang tongkat dan gue nggak bersandar atau bertumpu sama lo," bisik Samudera pelan.

Danisa menengok. Tongkat Samudera bersandar rapi di sofa. Kaki Samudera menapak sempurna di tanah. Bagaimana lelaki itu bisa berjalan dengan jarak sekitar satu meter begitu?

Samudera melepas pelukannya lalu membalik tubuh Danisa. Jelas mata Danisa mendongak. Menatap Samudera hingga ke kaki.

"Ada yang mau gue kasih tahu lo." Samudera tersenyum lembut. "Coba mundur tiga langkah."

Danisa mengikuti instruksi Samudera. Ia mundur tiga langkah.

Samudera terlihat menarik napas sebelum berjalan pelan. Masih sangat pelan. Kaki kirinya juga masih sedikit menyeret dan pincang. Tetapi, kaki kirinya bisa bergerak hingga sejajar dengan kaki kanannya.

"SAMUDERA BANYU KENCANA!" pekik Danisa tak percaya.

Samudera meringis dengan cengiran. "Gue udah bisa jalan, Sa. Belum normal, tapi, gue bisa jalan."

Danisa membelalak. "Sejak kapan? Kenapa lo nggak kasih tahu gue?"

Samudera memutar bola mata. "Gue mau kasih tahu lo hari Senin. Waktu itu, geraknya baru sedikit. Tapi, lo nya malah sama Kiano. Gue mau kasih tahu lo hari Rabu sekalian lo ikutan gue terapi, lo ngehindar. Hari Kamis, lo tiba-tiba dihajar Isabella. Kemarin, lo nggak masuk. Terus, gue harus kapan kasih tahu ke lo?"

Danisa menunduk merasa bersalah. Ia menggigit bibir.

"Sa, pas pertama kali gue bisa gerakin kaki, orang yang pengen gue kasih tau pertama ya cuma lo. Dan kalau gue pun nanti bisa lari, gue akan lari ke arah lo. Gue nggak akan menghindari atau kabur dari lo. Lo yang bikin gue semangat buat jalan lagi. Gue pengen bisa ngejar lo, biar gue nggak kehilangan lo lagi." Samudera memegang perban di kepala Danisa. "Lo tahu rasanya saat gue cuma ingin menghajar diri gue sendiri ketika tahu lo begini karena Isabella? Kalau gue bisa lari dan kejar lo, mungkin lo nggak akan diapa-apain, kan?"

Danisa menggeleng. "Jangan nyalahin diri lo. Gue yang memang mau keluar dan kabur."

Sederet senyum berbaris rapi di bibir Samudera. Ia menatap lekat Danisa. "Sa, You are enough for me." Ia berkata sungguh. "Just you, only you."

Danisa tak bisa dapat pengakuan seperti ini. Melihat Samudera menjadi lembut seperti ini apa lagi. Jantungnya bertingkah dan berdebar tak karu-karuan.

"Sa, I don't know about you, and I don't mean to rush you." Samudera berkata lagi. "Jadi, masih dengan pernyataan gue hari Senin, lo bisa jawab kapanpun lo siap. Tapi, boleh kan kalau gue tetap ngejagain lo dan punya perasaan ini ke lo?"

Danisa menunduk. Masih banyak kebimbangan. Dirinya belum bisa sepercaya diri itu. Kiano yang menurutnya tak neko-neko saja bisa punya standar setinggi Isabella. Bagaimana dengan Samudera?

"Don't worry, I'll wait." Samudera menyadari kegelisahan Danisa. "Tapi, jangan ngehindar dari gue lagi, ya?"

PERFREAKTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang