Satu diantara seribu. Jelas aku lebih memilih satu, jika nyatanya seribu lainnya adalah racun.
"Salka Zio Bratendzi."
_____
"Parah tunggu sebentar, Pak jangan ditutup!"
"Pak ganteng deh, tunggu temen saya datang, ya baru ditutup gerbangnya."
"Parah alias Pak Rahmat! Yes, enggak telat!"
Teriakan heboh terdengar memekakkan telinga, meneriaki nama satpam yang saat ini sedang bertugas. Berlari sekuat tenaga agar pintu gerbang tak sampai tertutup mengingat lima menit lagi bel masuk akan berbunyi.
Parah alias Pak Rahmat adalah singkatan atau panggilan para siswa dan siswi Mavelga yang mereka berikan untuk satpam latah itu, membuat lelaki paruh baya itu kadang mendelik kesal karena julukkan tak aesthetic tersebut.
Ckitt!
"Awas Pak! Anjeng!"
"ANJENG!" sentak Pak Rahmat yang memang latah.
Brakk!
Sebuah motor dengan plat bertulisakan B H3C4 baru saja menabrak besi pagar mengakibatkan sang pengemudi hampir saja terjatuh. Silka yang sudah ketakutan setengah mampus juga reflek mengeplak kepala Helmi yang sudah membuatnya ada diambang kematian, hingga sang empunya mengadu kesakitan.
Aksi kebut-kebutan tak terelakan karena memang mengejar waktu agar tidak telambat, tanpa sadar membuat Helmi menginjak rem mendadak karena asik mengemudi. Tidak sampai jatuh karena dirinya masih bisa mengntrol, tetapi lecet di motornya tak bisa terelakan, bahkan plat motor cowok itu sampai sedikit peyot saking kuatnya hantaman.
Cowok bermata elang itu kemudian melirik arloji di tangan tepat menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit dan itu artinya lima menit lagi gerbang akan ditutup, kemudian menatap gadis yang sudah turun sambil membetulkan rambut.
"Wesslah enggat telat dong!" serunya tanpa beban, "Belajar yang bener biar jadi orang bener," ujar Helmi menasehati dengan tangan mengacak rambut Silka, tetapi terdengar seperti sebuah hinaan.
"Ih, Helmi jangan berantakin rambut aku!" Silka memprotes karena bukannya berhenti, Helmi justru menyengir tanpa dosa.
Di lain sisi ada Pak Rahmat yang masih syok sambil memegang dada. Hampir dirinya tertabrak jika tidak segera menyingkir. Helmi dengan wajah tak berdosa justru masih sempatnya menyeletuk sebelum pergi.
"Udah kali, Pak enggak usah lebay yang penting kan enggak mati!" ejeknya langsung mendapat tatapan sengit oleh Silka, lalu meminta maaf pada Pak Rahmat atas nama Helmi.
Usai insiden beberpa menit lalu, di sinilah Silka sekarang. Lapangan Mavelga-berjalan sendirian dengan sebuah paper bag di tangan.
Setelah mendapat kabar jika Bu Ahara tidak akan mengajar karena izin cuti melihat mertuanya yang sakit di Jawa Barat. Hal ini langsung dimanfaatkan oleh Silka untuk pergi menuju ke lapangan menemui Salka. Mengingat laki-laki itu masih marah karena kejadian semalam.
Tidak peduli akan hal tersebut karena satu hal yang ia tahu. Salka pasti belum makan apa pun.
Mengingat ucapan Salka jika cowok itu tidak akan sarapan jika bukan masakannya, membuat Silka mendesah frustrasi.
Netral bulat itu mengedar mencarii seseorang, hingga di detik ke tiga pandangannya tertuju pada sebuah objek yang sedang bermain bulu tangkis di sana.
"Silka!" panggil seorang wanita berambut sebahu.
"Shia?" Senyum gadis itu merekah saat Shia memanggilnya. Gadis tomboi sekaligus Ketua kelas 11 IPS-kelas Salka and the geng.
Bukan tanpa alasan Shia menjanat sebagai ketua kelas. Pasalnya, diantara 38 murid hanya dia seorang yang bisa mengendalikan 37 murid lainnya saking garangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Heart, Sasil
Teen FictionBukan tentang cinta beda agama apa lagi melawan restu orang tua. Melainkan tentang tingginya tembok persahabatan yang sulit untuk ditembus. Merubah status sahabat menjadi kekasih, bukan satu hal mudah dan terdengar tidak mungkin. ✧༺༻✧ "Kenapa enggak...