"Sekecil apa pun itu, meski sederhana bisanya indah, baik dan menenangkan."
♡♡♡
Jarum jam menunjukkan diangka dua belas tanda semua orang berhenti beraktivitas. Seorang gadis kecil duduk di teras rumah sambil menggendong bonekah teddy bear. Bonekah itu merupakan benda kesayangannya yang dibelikan oleh sang ayah waktu usianya menginjak tiga tahun.“Teddy sebentar lagi ayah pulang,” celoteh gadis kecil.
Gadis itu selalu menunggu ayahnya pulang dari ladang. Dia selalu merindukan meski tiap hari ketemu. Dia tidak akan mau makan bila ayahnya belum pulang. Sang ayah begitu menyayanginya hingga setiap makan selalu menyuapi putrinya.
“Sayang, makan dulu, yuk!” seru sang bunda dalam rumah.
“Tidak Bun, Cicil masih tunggu Ayah pulang,” rengek gadis kecil.
Dia masih saja sabar menunggu sang ayah pulang dari ladang.
Seorang wanita keluar dari dalam rumah. Dia menghampiri putrinya yang duduk di kursi teras rumah.
Wanita duduk sambil mengusap kepala gadis kecil itu.“Kenapa anak Bunda tidak mau makan dulu nanti kalau sakit bagaimana?”
Sang bunda memiliki alasan tersendiri kenapa menyuruh anaknya itu makan lebih dahulu. Dia tidak ingin anaknya sakit karena telat makan. Sebenarnys sang suami tidak akan marah bila mereka makan lebih dahulu.
“Cicil lebih suka kalau kita makan bersama, Bun.” Gadis itu menjawab dengan memperlihatkan kedua lesung pipinya di saat tersenyum.
“Benarkah! Kalau boleh Bunda tahu. Apa alasan Cicil suka makan bersama?” Sang bunda mencoba bertanya kenapa anaknya itu menginginkan untuk makan bersama.
“Cicil hanya ingin menikmati kebersamaan ini selagi ada waktu,” beo Cicil dengan netra menatap lurus ke depan.
Deg.
Wanita itu seketika terkejut dengan apa yang barusan putrinya ucap. Kata yang barusan meluncur membuat dirinya merasa ada yang aneh. Dia pun mencoba untuk menanyakan keputrinya.
“Sayang, kenapa anak Bunda berbicara seperti itu?”
“Sebab umur kita tidak ada yang tahu sampai kapan. Bunda tahukan Kak Zyo! Dia kehilangan ibunya sejak lahir dan ayah tidak tahu pergi ke mana. Sekarang dia hidup dan tinggal sama neneknya yang sudah renta. Cicil tidak mau menyia-yiakan waktu selagi ada,” celoteh gadis kecil rambut berkuncir kuda.
“Anak Bunda ternyata sudah besar. Bunda bangga Cicil.” Wanita merasa bangga.
Padahal umurnya masih menginjak 6 tahun tapi pola pikirnya sudah seperti orang dewasa. Perbincangan antar mereka terhenti setelah melihat sosok yang sejak tadi dinanti telah pulang. Gadis kecil itu menyambutnya dengan suara cemprengnya. Membuat suasana terasa begitu hangat.
“Ayah, pulang!” seru pria dewasa dengan membawa cangkul yang ada di pundaknya.
“Hore, Ayah akhirnya pulang, Bunda.” Suara cemprengnya membuat orang tuanya begitu bahagia.
Suara itulah yang membuat rasa lelahnya hilang seketika. Senyum yang terlukis dia wajah putri mereka bisa menjadi obat tersendiri bagi pasang suami istri.
Cicil berlari menghampiri ayahnya yang untuk minta digendong dan mencium ayahnya berulang kali. Seolah ditinggal berhari-hari lamanya. Dia tidak merasa keberatan bersentuhan dengan kulit gelap ayahnya yang bercucuran keringat. Baginya keringat itu adalah perjuangan seorang ayah sekaligus suami yang mau berkoran untuk keluarga kecilnya mencari nafkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BEAUTY of POISON
RomansaSekuat apa hatinya yang harus merelakan dan mengikhlaskan kepergian orang disayanginya. Seolah takdir mempermainkan hidupnya. Kebahagiaan yang hanya sebuah singgahan, sedangkan air mata menjadi saksi bisu kebangkitan dari ketepurukan. Seorang wanita...