✧༺05༻✧

41 5 0
                                    

PUNYA kakak tidak tahu diri memang menyebalkan sekali. Sudah tahu memakai motor milik adeknya, tidak ingat waktu. Justru malah menggunakan motorku lagi untuk keluar berkumpul dengan teman-temannya.

Jika saja di rumah tidak ada bunda dan papah, aku sudah mengatai Bang Zeko dengan berbagai nama hewan di kebun binatang.

Pada akhirnya, aku pergi ke basecamp berboncengan dengan Regan.

"Udah lama gak boncengan kaya gini ya, El."

Oh, ya. Kalian harus tahu, nama depanku kan Aeleasha, nah Regan mengatakan nama 'Ael' itu lucu. Maka dari itu dia memanggilku seperti itu. Berbeda dengan orang-orang yang selalu memanggilku dengan 'Lea' dan 'Asa'. Aku tidak mempersalahkannya, lagipun bebas saja orang ingin memanggilku seperti apa, selagi masih menyambung dengan namaku.

"Ah, masa sih? Perasaan pas liburan kemarin juga aku pernah bonceng kamu, kok."

Regan terkekeh. "Udah satu minggu yang lalu. Lama dong termasuknya."

Aku ikut terkekeh. Walaupun rumah kita sangat dekat, tapi tak terusan juga selalu bersama. Terkadang Bang Zeko pun mengatakan mending aku berangkat-pulang bareng Regan saja daripada minta dijemput olehnya. Tetapi, aku tidak mau.

Ada alasan lain juga sih sebenarnya.

Regan menyukaiku. Aku tahu itu.

Saat SMP kelas satu, Regan pernah menyatakan cintanya padaku. Tentu saja aku menolak karena aku dan dia baru saling mengenal beberapa minggu saja.

Aku kira rasa suka Regan padaku hanya cinta anak remaja pada umumnya saja yang akan lupa secepat itu. Namun, saat kemarin kelas dua SMA, Regan kembali menyatakan cintanya padaku.

Keluarga Regan baru pindah ke seberang rumahku saat awal masuk SMA. Ya mungkin karena kita sering bersama, rasa cinta Regan padaku mulai tumbuh lagi.

Sayangnya, aku menolak. Regan orangnya memang baik. Dia termasuk laki-laki yang diidamkan banyak orang. Sejujurnya, Regan sudah masuk ke dalam kriteria laki-laki idamanku. Hanya saja, entah mengapa aku tidak tertarik untuk berpacaran dahulu. Terlebih lagi dengan seseorang yang sudah dekat denganku.

Aku tidak mau persahabatan kami rusak. Jika berpacaran pasti ujungnya juga putuskan? Hal itu bisa saja membuat kami menjadi canggung. Agaknya, menetapkan status kami sebagai sahabatan saja, jauh lebih baik.

Aku tidak mau memberi harapan lebih pada Regan. Maka dari itu, terkadang aku menerapkan batasanku sendiri supaya Regan tidak menyukaiku lagi. Aku akan lebih senang jika Regan mencari perempuan yang jauh lebih mencintainya.

Sesampainya kami di basecamp, Zidan, Azrio, Meila, dan Prisca sudah menunggu di depan. Mereka tidak bisa masuk, karena kunci berada di Regan.

"Weee, tumben banget Bapak Regan dateng boncengan sama Ibu Asa."

Aku berdecak mendengar Zidan menggodaku dan Regan. Aku heran, Zidan ini mengapa mulutnya tidak bisa diam. Sehari saja, tidak bisa. Gemar sekali membicarakan sesuatu yang kadang tidak penting.

"Udah nunggu lama?" Sembari membuka pintu, Regan bertanya pada lainnya yang tadi sudah datang lebih dulu.

"Gak lama. Cuma lima belas menitan doang, kok." Azrio menyengir.

"Lo masih mending lima belas menit, gue sama Meila hampir setengah jam." Prisca membalas menyengir.

"Eits, kok malah adu nasib Mba cantik."

"Tidak adu nasib, kok. Hanya memberitahu saja."

Azrio dan Prisca saling membalas dengan gurauan.

Regan terkekeh. "Sorry. Silahkan masuk dulu. Gue bawain dua kotak pizza tuh."

Dia PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang