Harapan ibu

24 4 1
                                    

Semilir angin berhembus, menjatuhkan daun daun kering yang masih bergantung dipohon. Sepasang kaki itu masih saja berlari, menelusuri jalanan yang masih sepi, baju kaos yang digunakannya pun sudah basah oleh keringat.

Sudah 30 menit ia berlari, orang orang pun juga sudah banyak yang beraktivitas diluar rumah
Ada yang berlari, atau sekedar berjalan santai, menyirami tanaman atau hanya sekedar peregangan untuk memulai aktivitas.

Sesekali ia menganggukkan kepala, ketika berselisih dengan pelari yang lain. Sesekali kepalanya juga mengangguk, membenarkan kata kata dari podcast yang ia dengar

"Tak ada yang mau sendiri di dunia ini, kita itu makhluk sosial, bagaimana pun juga kita pasti membutuhkan yang namanya manusia. Bayangkan aja ketika kalian lahir, tapi orang tua kalian tidak mau bertanggung jawab, mereka bilang. "Urus diri kalian sendiri".

"Kalau sudah begitu kalian mau apa, harus bagaimana lagi. Jadi jangan menapik, atau memberi alasan "aku tidak membutuhkan mereka". Mau bagaimana pun juga, kalian pasti akan membutuhkannya mereka.

Walau hanya sekedar kata maaf untuk semua perbuatan mu, terhadap dia yang akan di pertanggung jawabkan di akhirat nanti.

Tak terasa sudah satu jam ia berlari, ia memutuskan untuk pulang.

Hanya berjalan santai, sambil memperhatikan sekitar. Warung warung kecil di pinggir jalan dan pedagang kaki lima, sudah mulai menjual dagangan mereka.

Beraneka ragam, mulai dari yang ringan, hingga ke yang berat.

Ia tak membeli apapun, karena dirumah, sang ibu rumah tangga yang ia panggil ummi, pasti sudah membuatkan sarapan pikirnya.

Semua pasti setuju, tak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya masakan ibu, iyakaann??.

Walaupun hanya sekedar sambal sederhana. Tetap saja, ibu, ummi, umma, atau mama pasti membuatnya menjadi istimewa.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsallam, udah pulang aja bang. Biasanya jam delapan. Ini masih jam tujuh" ucapnya melirik jam yang tergantung didinding.

"Udah laper bun, liat orang jajanan tadi diluar"

"Terus kenapa nggak langsung makan diluar aja?. Nggak bawa uang lagi?." Selalu saja, jawabannya tetap sama, tidak bawa uang atau dompet ketinggalan.

Melihat anak sulungnya ini, kalau tidak diajak makan diluar, ia tidak akan pernah pergi sendiri. Seperti sekarang, rela menahan lapar, lalu bergegas pulang kerumah untuk makan.

Sebagai seorang ibu, Mira cukup heran melihat anak bujangnya ini. Mendengar cerita teman temannya tentang anak mereka, yang berbanding terbalik dengan anaknya.

Jika anak lain lebih suka makan di luar, maka Galang lebih suka makan dirumah, walau harus menahan rasa lapar.

Jika anak laki-laki Suka nongkrong sama teman temannya di luar sana, berbeda dengan Gilang yang lebih sering menghabiskan waktu di rumah.

Nongkrong atau main dengan teman temannya dapat di hitung berapa kali dalam sebulan.

Tapi Mira juga merasa bersyukur, anaknya tidak melakukan hal hal aneh diluar rumah. Menghabiskan waktu dirumah, membaca buku, belajar atau sekedar bermain dengan sang adik.

"Kan aku udah pernah bilang Bun, bunda itu rumah aku. Jadi apapun, aku akan datang ke bunda, walau hanya sekedar lapar" ucapnya lembut.

Ibu mana yang tidak terenyuh mendengar ucapan lembut dari anaknya. Begitu juga dengan yang dirasakan Mira, yang mendengar ucapan lembut anaknya.

Mengusap rambut yang telah basah oleh keringat, seiring dengan hati yang selalu berdoa untuk anak anaknya.
"Dah sekarang bersih-bersih dulu, baru sarapan" ucap Mira sembari mendorong tubuh sang anak menuju tangga.

Sementara ditempat lain. Seorang gadis sedang melayani para pelanggan, yang sudah mengantri sedari tadi.

"Iya buk"

"Sabar ya buk, antriii"

"Masih banyak kok buk, belum habis"

"Ini ya buk, makasih"

Gadis itu masih sibuk melayani pelanggan yang semakin ramai.

"Kak sein, ini kotak terakhir" ucap Anak laki laki yang datang dari arah belakangnya, lalu meletakkan di atas meja.

"Owh ya, ibu mana?"

"Itu dibelakang nyusul" ucapnya menunjuk wanita paruh baya yang berjalan dibelakang mereka.

"Kak sein, nanti kalau butuh apa apa panggil aku lagi ya". Hanya anggukan yang diberika oleh gadis itu.

Namanya Sheinafia alensyah, anak sulung dari dua bersaudara. Sekarang ia duduk dibangku kelas dua SMA. Karena lagi libur semester, seina memanfaatkan waktunya membantu sang ibu berdagang, sebelum sorenya akan kerja part time.

"Nak, udah biar bunda aja yang lanjutkan. Kamu istirahat aja".

"Iya Bun, ini tinggal dikit lagi kok. Bunda tolong ambil uangnya aja". Ucap seina

Anak dan ibuk tersebut sama sama bekerja, melayani pelanggan yang terus berdatangan. Mungkin karena akhir pekan, banyak orang untuk masak pagi, walau hanya sekedar sarapan. Jadi mereka membeli sarapan diluar.

Ibu seina sudah lama berjualan sarapan pagi seperti ini. Karena ia yang menjadi tulang punggung keluarga sekarang, menjadi single parent. Dan menghidupi kedua anaknya.

Apalagi semenjak ditinggal sang suami untuk selama lamanya. Nara yang menggantikan tugas sang suami, karena tabungan yang semakin tipis, jadi Nara menggunakan sisa tabungannya menjadi modal untuknya berjualan sarapan pagi.

Hingga sekarang, Nara masih berjualan. Walau untungnya tak seberapa, yang penting bisa untuk memenuhi kebutuhan ia dan anak anaknya.

Hanya itu yang ada dipikiran Nara semenjak ditinggal sang suami. Anak mereka selalu menjadi prioritas utama, apapun itu".

Sheina yang melihat perjuangan sang bunda yang bekerja siang malam, tak tega. Jadilah ia bekerja part time, meskipun uang gajinya tak seberapa, setidaknya ia sudah bisa mengurangi beban sang ibu.

Bahkan dulu, ia tak berniat untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas. Karena di paksa oleh bundanya lah sheina mau melanjutkan pendidikannya.

Bundanya pernah bilang
"Shein, dulu bunda punya cita cita yang tinggi, jadi dokter. Tapi bunda nggak bisa menggapainya."

"Kenapa Bun?"

"Karena pendidikan bunda nggak selesai, jangankan untuk lanjut kuliah. SMA aja ibuk nggak pernah ikut".
"Semua itu, karena ibu nggak punya biaya yang cukup. Kakek kamu cuma ikut sama nelayan cari ikan. Sedangkan nenek, bantu bantu orang dipasar. Ayah sama bunda pengen kamu jadi orang sukses, biar nanti kamu kerja nggak harus banting tulang, cukup dengan pena saja".

"Selagi kamu masih ada kesempatan untuk bisa melanjutkan pendidikan kamu.
Selagi bunda masih sehat, masih bisa membiayai kamu".

"Bunda pengen liat anak gadis bunda ini sukses. Jadi pengusaha hebat seperti orang orang yang kamu liat di koran dulu. Kamu ingat nggak apa yang kamu bilang ke ayah". Sheina menggelengkan kepalanya.

"Ayah, nanti kalau sheina udah besar, sheina akan berdiri disini. Disamping Tante ini". Ucap sheina kecil, menunjuk foto foto para pengusaha muda yang sukses.

"Iya kak, kamu pasti bisa berdiri disana. Nanti ayah pajang deh korannya, biar orang tau, kalau kamu itu anak ayah".

Jika Aku Tak Jadi Apa-apaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang