itu apa

0 0 0
                                    

Pagi-pagi begini dua orang anak dan ayah itu sudah bermain air, berkedok cuci mobil sang ayah malah ikut asik bermain air dan menjaili anak perempuannya.

Sebuah ide muncul dikepala anak perempuan tersebut, yang juga disetujui oleh sang ayah setelah mendengarnya. Mereka berencana menjaili seseorang yang berjalan mendekat ke arah mereka.

"Kita hitung ya, satu..., dua..., tiga... TEMBAK!!!!" Teriakan itu tidak hanya membuat kaget orang yang diserang juga seorang wanita yang asik menyiram bunganya sedari tadi.

Sedangkan yang diserang malah berlari ke arah wanita tersebut berlindung dibelakang tubuh yang tidak menutupinya sepenuhnya.

"Stoppp.., berhenti nggak kalian" teriak wanita itu menghindari tembakan air. Sedangkan anak dan ayah itu tak mau berhenti, mereka malah tambah semangat

"Aya kamu nggak dengar, bunda bilang berhenti" sekarang laki laki tersebut yang teriak

"Dion!!! kamu ya" ia berjalan ke arah pria itu, menarik telinganya

"Aw aw ampun, mir... iya nggak lagi" Dion berusaha menahan tangan Mira istrinya agar tak menarik telinganya dengan kuat.

Saat jeweran itu terlepas, Dion malah memancing emosi istrinya lagi
"Nggak janji" meski pelan tapi Mira masih bisa mendengar suara Dion.

"Malam ini tidur diluar sama besok urus anak kamu sebelum berangkat sekolah" setelah mengucapkan itu Mira masuk kedalam rumah di ikuti Galang yang melirik sinis pada Dion sedangkan tangannya mencapit hidung mungil Aya.

Mira berjalan kedapur, ia butuh segelas air untuk tenggorokannya yang sakit karena berteriak seperti tadi. Maklum ibu- ibu yang biasanya keep calm tapi harus mengeluarkan kodamnya jika sudah berhadapan dengan dua orang tadi

"Itu apa?" Tanyanya melihat kantong plastik yang digenggam Galang.

"Oh ini, nasi uduk. Bunda mau?" Mira mengangguk, mengambil piring dan sendok yang berada dibelakangnya lalu memberikannya pada Galang.

"Udah bonyok gini bentuknya" sambil mengaduk nasi uduk tersebut

"Udah dilindungi dengan segenap jiwa dan raga ini Bun, sayang kalau Mak dimakan" satu suapan ia berikan pada Mira

Mira mengunyah dengan pelan menyeleksi rasa "gimana?" Tanya Galang

"Enak kok, beli dimana?"

"Dekat gerbang" jawabnya dengan mulut penuh

"Habisin dulu, baru ngomong" tangannya mengambil alih sendok dan piring dari tangan Galang "buat bunda ya, kamu buka lagi yang itu" tunjuknya pada satu bungkus nasi uduk

Galang menghela nafas, terbiasa dengan sifat sang bunda kalau sudah marah-marah bawaannya lapar Mulu, bajunya yang basah saja belum diganti.

"Yang satu suka marah, eh satu lagi suka bikin marah. Gini amat orang tua gw".

                               -oOo-

"Terimakasih ya. Teman-teman sheina udah bantu ibuk jualan, ngerepotin Loh padahal" ucap Nara matanya juga menatap satu persatu teman teman sheina yang berdiri dihadapannya.

"Aaa ibuk kayak sama siapa aja. Ngga ngerepotin kok buk, ya kan gengs!!?" Seru amel

"Iya buk nggak ngerepotin kok. Anggap aja kami anak-anak ibuk juga" ucap dara sambil mengapit sebelah tangan sheina.

"Nggak ya wel, saudara aku cuma satu"

"Iya lah kan cuma gw yang lu anggap" ucapnya pede

"Rangga lah, masa eluu" sungguh sangat jarang sheina menggunakan panggilan gw elu seperti ini. Wella sampai kesal mendengarnya, menghempaskan tangan sheina lalu beralih memeluk lengannya Nara dengan wajah cemberutnya.

"Nggak apa-apa ibuk, kami senang membantu ibuk" ucap Dania yang diangguki oleh semua orang.
"Jadi anggap aja kami anak ibuk" sambung dara lagi yang sangat ingin diakui sebagai saudara sheina. Ntah apalah penyebabnya.

Teman-teman sheina sudah pulang, setelah membantu sheina dan ibunya dan mengantarkan pulang. Tepat pukul empat sore, dara baru saja sampai dirumah. Sebelum kembali ke rumah, mereka janjian pergi main bersama. Dan seperti biasa juga sheina tidak mau ikut dengan alasan badannya yang lelah sehabis berjualan.

Mereka tak bisa memaksa sheina, apalagi dirumah juga ada ibunya. Tak enak rasanya memaksa anak orang didepan orang tuanya, padahal anaknya yang tak mau. Nara tak mempermasalahkan anaknya jika pergi main karena mereka juga gak untuk itu. Tapi Nara juga tak bisa memaksa anaknya juga.

Disatu sisi ia bersyukur karena anaknya yang tak suka kelayapan keluar rumah, tapi lu lain ia juga takut jika sheina akan cuek dan tidak pandai bergaul. Karena itu ia senang jika sheina mengajak teman-temannya bermain dirumah, setidaknya sheina tak merasa kesepian disaat dirinya sibuk bekerja pikir Nara.

Saat sampai dirumah bukannya kenyamanan yang ia dapatkan malah suara teriakan demi teriakan yang menyambut langkahnya.
"Udalah Mel, hubungan kita ini sebenarnya udah gak ada gunanya"

"Sama kamu nggak ada gunanya, kamu nggak mikir dampaknya buat anak kamu". Teriak Melda penuh emosi

"Amel itu udah gede, dia kalau dikasih tau pasti ngerti"

"KASIH TAU APA HAA!!! KASIH TAU KALAU KAMU ITU PUNYA SELINGKUHAN, KASIH TAU KALAU KAMU MAU KITA CERAI, TRUS KAMU NIKAHIN SELINGKUHAN KAMU ITU. IYA!!!" Melda sudah tak sanggup menahan emosinya, ia bingung apa yang ada dalam pikiran sang suami sekarang sehingga ingin menceraikan dirinya.

Dimas memang ingin menceraikan Melda, bahkan sudah lama ia ingin melakukannya. Tapi selalu gagal karena Melda selalu mengingatkan ada Amelia diantara mereka. Mengingatkan Dimas untuk jadi ayah yang baik, sesuai yang ia ucapkan saat Amel masih dalam kandungan.

Amel yang mendengar teriakan itu hanya diam. Dirinya mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi hanyalah halusinasinya ia bahkan tak sadar air matanya sudah berlinang. Teriakan itu masih berlanjut bahkan juga terdengar suara tamparan dan suara tangis wanita.

Laki-laki itu, ia seperti tak mengenalnya. Sikapnya yang dulu sangat lembut berbanding terbalik dengan sekarang, yang bahkan rela menampar seorang wanita yang katanya sangat ia cintai. Apakah cinta memang semembutakan itu?

Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Amel masuk kedalam membuka pintu dengan kasar. Matanya melotot melihat ibunya yang sudah terbaring lemas dilantai, kepalanya berdarah karena tergores dengan siku meja.

Dengan sekuat tenaga ia memapah ibunya menuju mobil, membawanya kerumah sakit. Sebelum itu ia kembali masuk mengambil kunci mobil.

Pria itu masih berdiri posisinya bahkan tidak berpindah, ia ingin menjelaskan pada Amel tapi suaranya tak keluar. Matanya bertemu dengan sorot datar Amel, ingin berbicara tapi tak ada satupun kata kata yang keluar dari mulutnya hingga tubuh itu hilang disusul suara mobil yang terdengar menjauh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jika Aku Tak Jadi Apa-apaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang