Berteman

11 3 0
                                    

Kelopak mata itu terbuka, memperlihatkan netra cokelat, yang masih menyipit, karena Kilauan cahaya lampu yang menembus di sela sela pintu.

Sejenak termenung, angin angin yang berhembus dari kipas. Kian mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya.

Sudah pukul lima, tapi tubuh masih saja enggan bergerak dari ranjang, padahal ia ingat beluk melaksanakan shalat subuh.

Ia mulai sadar, dari pada menambah waktu tidurnya, yang akan membuat ia terburu buru untuk bersiap. Lebih baik ia bergerak sekarang.

Sheina bangkit dari kasur, meminum beberapa teguk air. Lalu pergi ke kamar mandi, untuk membersihkan dirinya.

"Udah sekolah lagi, nggak berasa liburnya" gumamnya. Padahal sewaktu libur, ia merasa sangat bosan. Hanya menolong sang bunda berjualan.

Di ruang tamu, Nara dan Revan sudah menunggu sheina untuk sarapan bersama.

Sarapan yang sederhana. Nasi putih dengan lauk perkedel kentang, yang merupakan dagangan Nara hari ini, ditemani segelas teh hangat.

"Kak, sekalian anterin adek kamu ke sekolah".

"Revan, belajar yang rajin y, dengerin kata kata gurunya. Main boleh, tapi kalau jam masuk udah bunyi, pergi ke kelas. Jangan bolos, kamu juga yang rugi nanti"

Setelah memberikan nasehat untuk kedua anaknya, Nara menyuruh mereka berdua berangkat, agar tidak telat.
Ia juga sudah bersiap siap akan pergi berjualan.

"Dek ingat kata kata bunda, buat kakak dan bunda bangga sama kamu".

"Iya kak, assalamualaikum".

Sheina masih duduk diatas motornya, menatap punggung sang adik, yang perlahan semakin menghilang.

Sekarang hari pertama bagi Revan sebagai anak smp. Tak terasa waktu cepat berlalu, Revan dulu yang sepinggang nya. Sekarang hampir menyamai tinggi sheina.

Sebagai seorang kakak ia tentu merasa bertanggung jawab untuk mendidik sang adik. Apalagi sekarang, ibunya menjadi single parent, harus menghidupi dan membiayai pendidikan mereka berdua.

Sebagai anak tertua, sheina juga merasakan beban yang di tanggung oleh sang bunda sekarang. Apalagi sebentar lagi ia akan tamat SMA.

Jangankan untuk lanjut kuliah, biaya untuk perpisahan saja entah ada atau tidak, belum lagi dengan kegiatan yang di adakan oleh sekolahnya, yang termasuk sekolah terbaik, dan sheina bisa bersekolah disana dengan beasiswa yang ia dapatkan.

Sampai di parkiran sekolah, sheina bingung. Parkiran sudah penuh, tempat biasa ia memarkirkan motornya yang biasa kosong, sekarang juga terisi.

Saat menoleh kekanan ia melihat satu tempat kosong, segera ia melajukan motornya.

Terlambat!!!
Tempat itu sudah terisi lebih dulu, padahal sedikit lagi ia sampai disana.

Laki laki yang lebih dulu memarkirkan motornya, menatap spion. Melihat wajah kesal dan pasrah itu. Ia memundurkan motornya.

"Disana aja kak".

Sheina tentu kaget.ia mengira Saat laki laki tersebut memundurkan motornya, untuk membetulkan posisi, agar tidak menyenggol motor lain.

Ternyata tidak. Sangat jarang ada orang seperti ini, ia pun baru pertama kali melihat wajah itu. Apa mungkin murid baru ya.

Setelah mengucapkan terimakasih sheina langsung memarkirkan motornya disana. Lalu menatap laki laki tadi yang pergi.

Mungkin ia mencari parkiran diluar sekolah pikirnya.

Mencari kelas adalah hal yang dilakukan oleh sheina terlebih dahulu. Ia selalu mulai dengan kelas paling ujung, yang sudah tercap sebagai kelas para berandalan sekolah.

Padahal tidak semua dari mereka yang menjadi berandalan sekolah, sheina tau bahkan mengenal sebagian penghuni kelas yang namanya tercetak disana.

Entah mengapa, tapi memang begitu lah. ia merasa takut dan kecewa apabila tak menemukan namanya disana.

Sudah dua kelas yang ia lalui, dari tujuh kelas sosial, masih tersisa lima lagi.

Sedang sibuk mencari namanya, sheina menatap seorang laki laki yang berdiri disampingnya, wajahnya memang asing. Tapi, ransel yang ia gunakan, sepertinya ia pernah melihatnya.

"Sheinaaa!!!"

Teriakan itu menyardarkan sheina. Ia menoleh, menatap seseorang yang melambaikan tangan dan memberikan kode agar sheina mendekat.

"Ngapain disana?"

"Nyari kelas"

"Shein, lu tuh udah jadi penduduk tetap di kelas ini" tunjuknya pada kelas XII SOSIAL 1.

"Wel, kalau doa in orang tu yang baik baik aja, penduduk tetap. Nggak lulus lulus dong".

"Bukan gitu shein, maksud gw lu selama tiga tahun ini akan tetap di kelas ini".

Gadis yang bernama wella ini merupakan teman sheina selama hampir dua tahun ini. Mereka yang awalnya berkenalan karena mendapat tugas kelompok berdua.

mengalir begitu saja, hingga menjadi dekat layaknya saudara. Merasa satu pemikiran dan hal yang dibahas pun nyambung.

Bukan berarti mereka tidak kenal dengan teman sekelas lainnya. Tapi, mereka merasa sefrekuensi. Dengan yang lain pun, tak banyak bercerita, hanya sekedar teman main.

"Eh besti besti udah datang"
Sebuah rangkulan dan suara yang cempreng mengekejutkan mereka.

Sheina yang mudah terkejut, secara reflek langsung memegang dadanya. Detak jantung yang cepat, membuat ia cukup kesulitan bernafas.

Wella yang melihat sheina sesak nafas, bergerak cepat.
"Lu sih, awas sana".

Setelah merasa cukup tenang, sheina kembali berdiri. Menatap gadis yang membuatnya hampir mati.

"Shein, maaf ya. Bukan maksud gw buat bikin lu kayak tadi".

Dengan wajah yang bersalah Dania meminta maaf kepada sheina.

"Nggak papa, dimaafin pun sekarang pasti diulangi lagi. Udah nggak usah dipikirin". Ucapnya kelewat santai.

Wella yang mendengarnya cengo, padahal tadi sheina hampir saja kehilangan nafasnya. Tapi, apa yang dibilang sheina ada benarnya, ini ke empat kalinya jantung sheina dibuat jedag jedug oleh Dania.

Dania baru bergabung bersama mereka saat kelas dua, Dania yang selalu sendiri, tak ada yang menemani. Membuat sheina bertanya tanya.

Akhirnya sheina memutuskan untuk berteman dengan Dania, berawal dari ia yang mendekati gadis itu, saat makan di kantin sekolah. awal awal pertemuan dania cukup cuek bahkan judes, menjawab apa adanya, sampai membuat wella ingin menyerah, tapi perlahan sifat Dania berubah.

Ia mulai sering bergabung dalam percakapan, walau hanya membalas beberapa kata. Terus berlanjut hingga ia menjadi gadis cerewet, tapi tomboy.

Menurut sheina, sikap cuek Dania di awal lah yang membuat orang orang tidak ingin berteman dengannya. Padahal sebenarnya Dania ini people friendly.

Jika Aku Tak Jadi Apa-apaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang