9. I Didn't Love Her

102 6 0
                                    

"Kalau begitu, aku akan mengurus surat cerai kita." Ujarnya yang sukses membangun amarah suaminya.

"Aku tidak mau." Balas Mark dengan sedikit menggeram. Dia kesini tuh bukan buat cerai. Tapi membicarakan masalah mereka untuk menyelesaikan masalah mereka. Supaya mereka bisa kembali bersama, bukannya malah cerai.

"Lalu, kau mau kayak gimana, Mark?" Tanyanya, yang saat ini tengah menatap suaminya dengan tatapan frustasi. Dia gak mau kembali sama suaminya, disaat kehidupannya tidak lama lagi.

"Bagaimana dengan Chenle dan juga Jisung? Kau sudah lihat mereka berdua bukan? Bukan-kah mereka berdua tumbuh dengan sangat baik?" Ujarnya yang berusaha menyasarkan sang istri, agar mereka tidak bercerai demi anak mereka, dan langsung di angguki kepala oleh istrinya.

"Tentu. Terima kasih karena telah merawat dan menjaga kedua anakku dengan sangat baik. Lalu, apa yang ingin kau lakukan sekarang?" Tanyanya. Ia sudah memantapkan hatinya supaya tidak terpengaruh akan apapun termasuk kedua anaknya.

"Aku tidak mau bercerai dengan dirimu, Na. Aku ingin kau kembali kepada diriku." Ujarnya, yang masih setia menatap istrinya dengan penuh keseriusan.

"Tidak bisa, Mark. Aku dan kamu tidak bisa kembali bersama." Ujarnya yang sama frustasi. Bahkan ia sudah memalingkan wajahnya karena tidak sanggup melihat wajah suaminya. Ia tidak mau luluh hanya karena menatap wajah suaminya yang sangat ia rindukan setiap harinya, sama seperti kedua anaknya.

Setiap kali dia melihat wajah suaminya, rasa ingin memeluk suaminya, dan berkata kalau dirinya merindukan dia semakin besar. Bohong kalau misalkan dirinya ini sudah tidak mencintai suaminya. Karena walau bagaimana pun, suaminya  adalah cinta pertama dan cinta terakhirnya.

Yup, Mark, suaminya saat ini adalah kekasih pertamanya, serta kekasih terakhir didalam hidupnya, setelah mereka memutuskan untuk menikah. Hanya suaminya yang berhasil meluluhkan hatinya. Tidak ada yang berhasil meluluhkan hatinya, sekalipun itu adalah Haechan, sahabatnya. Dia tidak buta untuk mengetahui kalau sahabatnya itu menyukai dirinya. Namun ia tetap berpura-pura tidak tau. Bukannya dia itu jahat atau mengabaikan perasaan sahabatmya. Hanya saja dia tidak mau memberikan harapan lebih ataupun menyakiti hati sahabatnya, kalau dia membalas hati sahabatnya.

Dia tidak cinta dengan Haechan, sahabatnya. Hatinya tidak memilih sahabatnya, walaupun sahabatnya ini sangat baik kepada dirinya. Hatinya sudah tertanam penuh dengan nama suaminya, Mark Lee. Hanya suaminya yang dapat ia cintai. Hatinya hanya untuk suaminya seorang. Walaupun dia sudah lama meninggalkan suaminya, tidak ada yang bisa menggantikan suaminya di dalam hatinya. Ia juga heran kenapa setiap kali ia membuka hati kepada pria lain, hatinya selalu menolak.

"Kenapa? Alasan apa yang kau gunakan sehingga kau berkata seperti itu?" Tanya Maek. Ia ingin mendengarkan semua alasan dan penjelasan yang istrinya berikan.

"Aku dan kamu sudah memiliki kehidupan masing-masing. Kau sudah bahagia bersama dengan istrimu, Winter. Sedangkan aku sudah bahagia bersama kekasihku." Ujarnya yang langsung di balas kekehan oleh suaminya.

"Sekarang omong kosong apalagi yang kau katakan? Kekasih? Winter? Kau terus memasukkan seseorang ke dalam permasalahan rumah tangga kita." Ujar Mark yang gak suka sifat istrinya yang selalu memasukkan nama orang lain di masalah rumah tangga mereka.

"Tapi emang benar, bukan? Kau dan istrimu sudah hidup bersama dan sudah di karuniai seorang putri cantik bernama Naeun, atau yang biasa kau panggil baby Na. Sedangkan aku? Aku sudah mempunyai kekasih, Mark." Ujarnya, yang terus melakukan berbagai cara agar suaminya stop mengharapkan dirinya untuk kembali.

"Bisakah kita tidak membawa orang lain di dalam permasalah rumah tangga kita?" Pinta Mark dengan tatapan memohon. Sungguh, sebenarnya ia sudah sangat kesal. Namun, ia haru mengontrol emosi dan amarahnya supaya tidak meledak didepan sang istri, yang ujung-ujungnya dapat menyakiti istrinya.

"Tidak bisa. Karena emang orang lain sudah masuk ke dalam hidup kita." Sahutnya langsung, yang emang begitu kenyataannya. Suaminya itu sudah bahagia dengan istri barunya. Sementara dia tidak bisa menghadirkan kebahagiaan untuk suaminya. Ia hanya akan membuat suaminya luka pada akhirnya.

"Na! Kita bahas keluarga kita. Anak-anak sangat membutuhkan ditimu. Mereka sangat membutuhkan ibunya." Ujarnya yang selalu menggunakan kedua anaknya agar istrinya ini luluh. Jujur saja, walaupun istrinya ini sudah meninggalkan dirinya. Rasa cintanya kepada istrinya ini tidak akan pernah hilang, dan selalu berharap istrinya ini kembali kepada dirinya.

"Ada Winter, Mark. Anak-anak sangat membutuhkan Winter, bukan aku. Dia sangat pandai mengurus dan merawat anak-anak. Anak-anak sangat mengenal dia dan menganggap dia sebagai ibunya, bukan aku. Bahkan anak-anak tidak tau siapa aku. Mereka tidak tau aku adalah ibunya. Jadi, mereka lebih membutuhkan dia daripada aku." Ujarnya, yang masih tetap pada pendiriannya.

"Sebegitu-kah kau tidak mau merawat anak kita?" Hardik Mark, yang saat ini tatapannya sudah berubah menjadi menatap istrinya dengan tatapan penuh kecewa.

'Tentu saja tidak. Aku sangat ingin merawatnya, tapi tidak bisa, Mark. Kondisi aku tidak memungkinkan untuk merawat mereka. Bukannya aku yang merawat mereka, mereka yang malah akan merawat diriku. Aku sangat ingin merawat mereka. Aku sangat ingin menggendong mereka, aku sangat ingin menyuapi mereka, dan melakukan tugas yang sama seperti ibu lainnya. Tapi aku tidak bisa, Mark. Aku ingin, sangat ingin.' Batinnya yang masih berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisnya, begitu melihat tatapan kecewa yang suaminya berikan untuk dirinya.

"Apakah mereka mempunyai salah kepada dirimu sehingga kau begitu membenci mereka?" Tanyanya lagi.

'Bagaimana bisa seorang ibu membenci anaknya? Ibu yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk membawa anaknya ke dunia, merasakan hangat dan kejamnya dunia. Ibu yang sudah melakukan berbagai cara agar anaknya lahir ke dunia tanpa memikirkan resiko akan kehilangan nyawa mereka. Bagaimana bisa aku membenci mereka, Mark?' Batinnya lagi.

"Apa salah aku, Na? Kenapa kau pergi meninggalkan aku dan kedua anak kita? Setidaknya kau tidak meninggalkan kedua anak kita kalau kau membenci diriku. Kalau aku ada salah, maafkan aku. Katakan padaku apa salah aku, agar aku bisa memperbaiki semuanya. Jangan main asal pergi tanpa kejelasan yang pasti." Pintanya, yang saat ini temgah menatap istrinya dengan tatapan frustasi.

'Kau tidak salah. Aku yang salah karena lebih memilih untuk menyembunyikan semuanya kepada dirimu. Aku tidak ingin merepotkan dirimu karena penyakit yang aku punya. Aku tidak ingin kau dan anak kita sedih kalau aku pergi meninggalkan kalian bertiga. Aku mau kalian bertiga hidup bahagia tanpa diriku. Aku tidak mau membebankan kalian bertiga yang seharusnya sudah menjadi kewajiban aku dalam mengurus dan merawat kalian bertiga.'

"Jawab, Na! Kenapa kau diam saja?!" Teriakan yang ia berikan, karena sudah habis kesabarannya atas kebisuan istrinya ini, bahkan ia sudah menggoyangkan tubuh sang istri.

"Maaf, Mark. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa kembali kepada dirimu. Aku tidak bisa mengembalikan keluarga kecil kita lagi. Kita sudah berada di jalan yang berbeda. Kau yang sudah memiliki keluarga kecil-mu bersama dengan is--"

"Aku tidak mencintai dia!" Potong Mark, seraya berteriak frustasi di hadapan sang istri. Ia tidak tau harus memakai cara apa lagi supaya istrinya mau kembali kepada dirinya. Ia juga tidak tau harus berkata seperti apalagi kepada istrinya kalau dia tidak bisa mencintai orang lain, karena dia satu-satunya perempuan yang ada dihatinya.

Dan ia sempat tertegun atas pengakuan suaminya, yang mengatakan kalau dia tidak mencintai istrinya. Kalau dia tidak mencintai wanita itu? Untuk apa dia menikahi wanita itu.

"Aku tidak mencintai Winter, Na! Hanya kamu wanita yang aku cintai! Walaupun kau bukan cinta pertama aku, tapi kau berhasil menjadi cinta terakhir aku! Hatiku sudah tertutup untuk wanita lain." Sambungnya.

"Mark, jangan bercanda. Kau mencintainya, Mark. Kalau kau tidak mencintai dirinya, kau tidak mungkin menikahi dirinya." Ujarnya, yang tidak ada lelahnya memperingati suaminya ini.

"Aku terpaksa menikahi dia. Aku di paksa oleh kedua orang tuaku, Na. Mereka memaksa diriku untuk menikah dengan dia, sebelum mereka pergi meninggalkan diriku. Aku terpaksa karena kedua anak kita sangat membutuhkan figure seorang ibu. Jadi, aku terpaksa menikahi dia! Aku menikahi dia supaya anak kita ada yang merawat. Aku menikahi dia hanya karena paksaan! Aku telah menjadi orang jahat karena dirimu! Aku mempermainkan hati seorang wanita, juga mempermainkan ikatan suci pernikahan kita karena kau" Sentak Mark, yang sukses membuat istrinya bungkam.

GEORGEOUS MOTHER - MARKMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang