Amarah yang Harus Dirawat

4 1 0
                                    

Ada masa dimana manusia kalah melawan monster di dalam dirinya sendiri. Sewaktu dada sesak dengan tarikan nafas yang berantakan, diiringi genggaman tangan yang kuat, dan gigi gemeretak, kronologinya begini: dalam hitungan mundur, monster itu akan meledakkan berbagai amarah tanpa henti.

Arsen mengisyaratkan amarah dengan warna merah. Tubuhnya kecil, lalu ada banyak benang hitam yang awut-awutan dari belakang tubuh monster itu.

"Amarah itu simbolnya warna merah, Nan. Kayak monster yang sering lo lihat di TV. Bentuknya kecil, tapi pengaruhnya besar. Soalnya kalau diledakin tanpa persiapan, bukannya lega, kita malah jadi nyesel seumur hidup."

Kinan kecil belum mengerti banyak hal. Dia pernah datang ke rumah dengan pikiran berantakan, duduk disebelah Arsen dengan ritme pernapasan acak-acakan. Giginya berbunyi, menahan monster itu agar tidak meledak tanpa izinnya. 

"Sen, gue marah, tapi nggak tau harus apa."

Amarah adalah sebuah emosi yang kerap kali dianggap remeh. Bentuknya seperti warna merah, berkobar serupa barak api yang menelan banyak jiwa. Tapi bagi Arsen yang didoakan banyak kebaikan dalam namanya, amarah punya keajaiban lain.

"Sama kayak rasa seneng, amarah juga perlu diterima. Dia butuh diperhatikan, butuh diredakan. Rawat amarahnya, rawat ketidaknyamanannya."

"Gimana cara merawat amarah?"

Arsen meletakkan tangannya diatas kepala Kinan, lalu berujar dengan halus, "Didengarkan."

"Setelah itu?"

"Hitung pelan-pelan sampai 10. Kalau amarah lo belum juga reda, hitung lagi. Terus-menerus, sampai amarah itu jadi tenang dan lo bisa dengar apa yang jadi penyebab amarahnya satu per satu."

1… 2… 3… 4… 5… 6… 7… 8… 9… 10

Kinan memejamkan matanya, "Gue takut nggak bisa ngendaliin marah, Sen. Gue pengen banget meledak dan rasanya pengen teriak sekeras mungkin." 

"Nan, salah satu hal yang paling gue sesali sampai sekarang adalah nurutin amarah tanpa mikir panjang. Gue mutusin suatu keputusan secara gamblang, meledak tanpa batas jelas, dan hubungan gue sama orang itu retak. Karena amarah, segala hal bisa hancur dalam hitungan detik."

Kinan diam, Arsen diam.

"Amarah itu serem, Kinan." Ujar Arsen pelan. "Semua orang bisa marah, tapi nggak semua orang bisa merawat amarah itu. Dengerin, kendaliin. Akal manusia ada untuk jadi pengendali ego yang ada di dalam diri kita. Supaya marahnya nggak mendominasi diri, karena komposisi manusia jauh lebih banyak bagian pecah belah nya."

Dulu sekali, Arsen pernah pulang ke rumahnya sambil membanting pintu dengan keras. Kinan mengintip dari celah pintu rumah laki-laki itu, memperhatikan bagaimana laki-laki itu melempar tas ke atas meja, lalu berdiri dengan pernapasan berantakan.

Ada selang 30 detik sampai akhirnya Arsen menjatuhkan diri di lantai. Kinan kira, laki-laki itu akan kembali meledakkan amarah. Alih-alih begitu, Arsen justru memeluk lututnya sendiri. Bahunya tampak rapuh, dadanya tersengal. Laki-laki itu menangis dalam diam, seorang diri.

Arsen tahu persis bagaimana rasanya kalah melawan amarah, jadi dia memutuskan untuk lekas memeluk bahu Kinan. Tidak bersuara, tapi nyamannya sama dengan yang dijanjikan Ibu ketika mendekap anaknya sewaktu pertama kali lahir ke dunia.

Di beberapa waktu, yang manusia butuhkan ketika marah bukan meledak dan carut-marut. Tapi didengarkan, dipeluk, lalu tiba-tiba menangis.

Karena beberapa kali, amarah adalah bentuk kekecewaan yang membentur ego manusia. Yang membuat dirinya terluka sampai ke ujung bagian diri, lalu manusia mencoba mengobatinya dengan sebuah ledakan bernama amarah untuk menutupi rumpang di dalam egonya.

"Kalau besok marah lagi, cerita terus ke gue, ya."

Itu adalah sebuah janji untuk didengarkan seumur hidup. Kinan tidak bersuara, hanya mengeratkan cengkraman di baju laki-laki itu untuk menutupi amarah yang sudah berubah jadi bentuk tangisan.


⭐ Jangan lupa
Thank you

When We Hold On The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang