Chapter 24 | Hafalan

52 4 0
                                    

Happy Reading!
Tandain typo ya guys📸
Jangan lupa vote, comment, dan share juga. Thank u💕

***

"Ya ... a--ada." Marva melirik ke arah 'senjata' milik Gus Althaf dengan wajah yang tiba-tiba memerah. "I--itu ... maksud gue ...." Dia tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Jantungnya serasa ingin meledak.

Pada saat itu, terdengar adzan subuh telah dikumandangkan dari musholla pesantren.

"Alhamdulillah udah adzan. Aku mandi duluan, ya," ucap Gus Althaf, tetapi tidak mendapat respon apa-apa dari Marva yang saat ini sedang bengong.

"Kenapa? Mau mandi berdua?" tanya Gus Althaf yang berhasil membuat mata Marva membulat. Kemerahan di pipinya pun bahkan semakin tampak.

"Hah? Gi--gila ya lo! Emang gue cewek apaan? Ya--yaudah lo mandi duluan aja baru habis itu gue," ucap Marva.

Gus Althaf berjalan menuju kamar mandi sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Memang apa salahnya mandi berdua?" gumamnya nyaris tak terdengar.

Sementara itu, Marva menepuk-nepuk pipinya sambil terus melihat ke sekeliling karena salting brutal. Setelah itu, dia mengipas-ngipasi wajahnya dengan kedua tangannya. "Aduh ... kok gerah banget, ya?"

Setelah Gus Althaf selesai mandi, kini giliran Marva yang membersihkan dirinya. Tak lama kemudian, dia keluar dari kamar mandi dan melihat Gus Althaf sudah rapi dengan baju koko, sarung, dan peci sambil sibuk menggelar dua buah sajadah.

"Eh udah selesai mandinya?" tanya Gus Althaf ketika melihat kedatangan Marva.

Marva mengangguk.

"Udah ambil wudhu? Kita sholat subuh berjamaah."

Gus Althaf ingin melanjutkan kegiatannya menggelar sajadah, tetapi terhenti ketika Marva menggenggam pergelangan tangannya. Wudhunya pun menjadi batal. Namun, dia tidak berkomentar lebih terhadap hal itu.

"Begini ... sebenarnya ini masalah besar dan ini juga tentang harga diri gue. Selama ini, buat gue harga diri adalah yang terpenting. Tapi, gue rasa gue bakalan sedikit nurunin ego gue di hadapan lo cuma supaya bisa jadi orang yang lebih baik," ucap Marva yang membuat Gus Althaf mengerutkan kening.

"Maksud kamu?"

"Gue nggak tau caranya wudhu yang bener."

"Terus selama ini kamu sholat gimana?"

Marva mengendikkan bahunya.

Gus Althaf pun langsung menghela napas. "Marva, kenapa kamu nggak bilang? Kan banyak orang bisa mengajari kamu."

"Kan gue udah bilang, ini tentang harga diri. Gue nggak mau orang-orang tau kalo gue nggak bisa wudhu. Mereka pasti bakalan ngejek gue. Denger ya, gue udah banyak banget dihujat selama ini. Rasanya gue nggak sanggup kalo harus denger cacian orang tentang masalah kayak gini. Karena sekarang lo adalah suami gue, gue pikir nggak apa-apa kalo cuma lo yang tau kekurangan gue. Seenggaknya lo nggak bakal ngebully gue kayak orang-orang," ucap Marva dengan kepala menunduk, dia sama sekali tidak berani menatap Gus Althaf karena terlalu malu. Bahkan, butuh keberanian penuh baginya untuk mengakui itu semua di hadapan sang suami.

"Ikut aku." Gus Althaf menarik tangan Marva, lalu membawanya ke kamar mandi. Tak lupa pula dia melepas pecinya dan meletakkannya di atas nakas.

Setelah tiba di sana, laki-laki itu segera mengajari sang istri bagaimana caranya berwudhu dengan baik dan benar. Setelah selesai, lanjut dia mengambil ulang wudhunya yang sempat batal.

"Lo kok wudhu ulang? Bukannya tadi udah, ya?" tanya Marva saat Gus Althaf sudah selesai.

"Kan tadi kamu pegang tangan aku. Wudhu aku batal jadinya," ucap laki-laki itu.

"Emang gitu? Berarti kalo gue megang lo habis wudhu, wudhunya jadi batal, gitu?"

Gus Althaf mengangguk.

"Kok bisa? Gue denger ceramahnya ustadzah Humaira kemaren katanya kalo habis wudhu bersentuhan sama yang mahram itu nggak batal. Kok bisa beda gitu, sih? Gue jadi bingung deh."

Gus Althaf menghela napasnya. Sebenarnya Marva memiliki hati lapang yang bisa menerima hidayah dengan mudah. Terbukti dia sama sekali tak pernah mengeluh tentang pakaian ataupun jilbab yang harus dia kenakan setiap hari sejak menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Daar An-Nur padahal sebelumnya dia sama sekali tak familiar dengan hal itu. Lalu, keingintahuannya tentang Islam yang sangat besar hingga dia menanyakan hal-hal spesifik seperti itu. Jujur, sulit menemukan orang semacam Marva di dunia ini yang bisa menerima perubahan dengan begitu cepat. Dan sebenarnya, Gus Althaf sangat takjub padanya mengenai hal itu.

"Marva, begini ... wudhu memang nggak batal kalo kita bersentuhan sama mahram kita, dalam catatan mahramnya harus sedarah. Misalnya, sodara sama ayah. Kalo kita meskipun sekarang udah mahram, tapi kan kita nggak sedarah. Sebelumnya kita bukan mahram, tapi sekarang menjadi mahram karena adanya pernikahan," ucap Gus Althaf.

Marva pun membentuk huruf o di mulutnya sembari mengangguk-anggukkan kepala. Dia belajar satu hal lagi hari ini selain tata cara berwudhu yang baik dan benar.

Mereka berdua melaksanakan sholat subuh dengan sangat khusyuk. Setelah selesai sholat, Gus Althaf menyodorkan tangannya untuk disalimi oleh Marva lalu dia mengecup pucuk kepala sang istri sekilas.

"Jadikan ini sebagai runitas kita setiap hari. Aku nggak perlu mengajari kamu tentang hal ini lagi," ucap Gus Althaf.

Marva pun menganggukkan kepalanya.

"Dan aku mau dari hari ini kamu mulai belajar menghafal Al-Qur'an," ucap Gus Althaf.

Marva sangat syok mendengar itu hingga wajahnya menampilkan ekspresi aneh. Menghafal Al-Qur'an? Mengaji saja dia masih terbata-bata.

"Me--menghafal Al-Qur'an? Gue nggak salah denger nih?" tanya Marva.

Gus Althaf mengangguk pasti. "Kenapa? Jangan-jangan kamu juga nggak bisa ngaji?"

Marva menggeleng cepat. "Ih jahat banget deh mulutnya! Bukannya gue nggak bisa ngaji. Bisa, kok. Cuma emang masih terbata-bata. Jangan ngejudge gue, ya. Dari kecil tuh nggak ada yang pernah ngajarin gue tentang agama. Kalo bokap gue mah boro-boro ngedidik gue, dia taunya cuma ngabisin duit anaknya doang," ucap Marva yang malah curhat.

"Nah berarti nggak ada alasan untuk kamu nggak belajar menghafal Al-Qur'an. Setiap hari, aku juga akan mengajari kamu lalu kita tadarus bareng-bareng, supaya kamu makin lancar baca Al-Qur'annya."

"Ya tetap aja bukannya ini agak berlebihan ...?"

"Nggak banyak kok, Marva. Kamu bisa mulai dari juz 'amma dulu dari surah An-Naba'. Kamu harus hafalkan minimal 10 ayat perhari. Setelah isya, kamu harus setor hafalannya sama aku."

Marva mengerutkan keningnya. "Juz 'Amma apaan dah?"

"Juz 30."

Marva langsung migrain mendengarnya.

Kayaknya salah nih gue nikah sama dia. Gue lupa kalo dia itu lulusan S2 Universitas Al-Azhar jurusan studi Islam. Pastinya istrinya juga harus pinter agama. Mati nih gue! Kalo tiap hari kayak gini, bisa-bisa tahun depan gue jadi ustadzah, batin Marva.

"Kamu bisa mulai hafalin dari sekarang, ya. Nanti malam selepas isya, aku akan tes hafalan kamu." Gus Althaf berdiri dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Marva yang masih termenung dalam lamunan.

"Mama!!!!!" teriak Marva lalu berguling-guling di atas lantai. Dia sangat frustasi sekarang. Apakah masuk akal jika seseorang yang baru saja belajar membaca Al-Qur'an disuruh untuk menghafal? Anak kecil saja harus merangkak dulu sebelum berjalan. Tapi, dia malah diminta untuk langsung berlari. Rupanya, Gus Althaf adalah orang yang kejam.

Sebenarnya, Gus Althaf juga tak berharap banyak karena dia tahu orang macam apa Marva. Dia hanya ingin sang istri menghafal paling tidak satu juz dalam Al-Qur'an dan itu juz 'Amma karena di sana berisi surah-surah pendek yang mudah untuk dihafal.

***

Bersambung...

Takdir Yang MemilihkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang