Aro mulai membuka mata. Jantungnya berdegub kencang. Ia begitu kedinginan. Aro mencoba untuk duduk, walaupun tertatih. Pandanganya kosong menatap tangannya yang gemetar.
“Mimpi itu cukup mengganggu,” gumam Aro.
Ia memutar bola matanya menuju jam di kamar. Masih pukul tujuh pagi. Semuanya terasa berjalan lamban. Aro ingin hari ini segera berakhir dan melupakan apa yang pernah terjadi.
“Kak,” panggil Astria.
“Sejak kapan kamu di sana?” tanya Aro tanpa melihat Astria.
“Barusan,” jawab Astria pelan. Kemudian, Astria berjalan ke hadapan Aro dan meletakkan sesuatu di telapak tangan kakaknya.
Wajah Aro tampak terkejut melihat benda di tangannya. “Ini bukannya—” Ucapan Aro terpotong.
“Yaaa, begitulah.” Astria mengangkat bahu.
“Dia masih hidup?” tanya Aro.
“Lalu, siapa yang melarung abu Kak Lia tiga hari lalu?” Astria balik bertanya.
“Aaakh! Bagaimana aku bisa lupa?” Aro mengacak-acak rambutnya.
Ya, tiga hari yang lalu adalah hari paling menyedihkan. Hari melarungkan abu para korbna tsunami kecil, termasuk melarung abu Ayah, Ibu, Kakek, dan Lia.
Aro kembali melihat barang pemberian Astria: kalung berliontin mutiara. Ia masih ingat betul, bahwa ialah yang menghadiahkan kalung itu pada Lia. Namun sekarang, hanya klaung itu yang tersisa.
“Kamu dapat dari mana?” tanya Aro.
“Sewaktu Kak Lia dinyatakan tiada, aku melihat kalung itu masih terpasang di leher Kak Lia. Kalung itu sangat berharga untuk Kakak, kan? Jadi, lebih baik aku simpan,” jelas Astria. “Daripada kalungnya terbakar,” imbuhnya.
Keadaan di desa sudah cukup baik, tetapi Aro dan Astria sedang tidak berada di sana. Setelah tragedi, mereka berpindah lagi ke Kulipa, dan menetap di sana. Sambil merawat Aefon, badannya penuh dengan lebam akibat terbentur reruntuhan bangunan. Sekitar dua pekan kemudian, semuanya sudah kembali normal. Namun, ada satu hal yang belum kembali normal.
“Sampai kapan aku memakai tangan buatan ini? Aku sudah sembuh,” rengek Aro.
“Sudahlah, Kak. Suaramu itu cukup berisik. Ya, kan, Aefon?” ucap Astria.
Aefon mengangguk tegas, kemudian melahap bubur dengan senang hati.
“Memangnya sampai kapan aku begini?” tanya Aro.
“Entahlah. Coba Kakak tanya Zarch dan Jion,” jawab Astria.
“Bersabarlah, Aro. Sebentar lagi akan selesai,” ucap Zarch terkekeh.
“Sebentar? Rasanya seperti ratusan tahun bagiku,” keluh Aro sambil memijat tangan buatan Zarch.
“Saraf tanganmu belum sepenuhnya tersambung. Jika tidak seperti itu, tangan aslimu bisa saja patah, bahkan diamputasi. Paham?” jelas Jion.
Zarch dan Jion ialah relawan dari Kulipa untuk membantu merwat korban tsunami kecil. Di desa pedalaman Provinsi Itya. Dan kini, mereka sudah akrab dengan Aro, Astria, dan Aefon.
“Aku tidak terlalu yakin jika kalian aman apabila terus tinggal di sini,” kata Jion.
“Maksudmu?” Aro bingung dengan perkataan Jion.
“Bencana tidak datang satu kali, tentunya. Cuaca di sini semakin tidak bisa ditebak. Akan berbahaya juga untuk kalian,” ucap Jion. “Aku hanya bisa menyarankan agar kalian berpindah ke Melawa,” tambah Jion.
Astria dan Aro sambil bertatapan. Mereka juga tak yakin jika pindah ke Melawa akan memperbaiki keadaan. Namun, di sisi lain, Aro dan Astria juga ingin hidup dengan aman tanpa harus teringat tragedi yang mengerikan itu.
“Akan kupikirkan dulu saranmu, Jion. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Aro berterima kasih.
Jion hanya mengangguk dan pergi ke kamarnya.
Malam semakin larut. Namun, Aro tak kunjung tidur. Matanya masih ingin terjaga malam ini. Padahal, selama seharian penuh ia tak tertidur. Karena tak kunjung mengantuk, Aro memutuskan unuttuk pergi ke desa, ke pedalaman Itya.
Baru saja membuka pintu rumah, Astria menghentikan langkah Aro. Astria menarik lengan baju Aro, dan menatapnya dengan mata yang terlihat sangat mengantuk.
“Kak, mau ke mana?” tanya Astria. “Ini sudah malam, tidak ada angkutan umum yang beroperasi malam-malam begini,” imbuhnya.
“Aku mau ke desa, sekadar mencari angin segar. Percayalah, aku hanya sebentar. Aku pasti kembali.” Aro mengelus rambut Astria.
Tiba-tiba, Astria menangis. Ia mengusap mata agar air matanya tak jatuh. Aro panik melihat Astria menangis, kemudian ia berjongkok di hadapan adik perempuannya. “Hei, hei, kenapa Astria? Semua baik-baik aja, kan?” tanya Aro.
Astria menggeleng. Ia tak mengatakan apa pun, lalu pergi ke kamarnya.
Aro tak mengerti apa yang Astria maksud. Namun, ia menyimpulkan jika Astria baru saja mengalami mimpi buruk. Kembali ke tujuan awal, Aro melangkah menuju desa. Meskipun tidak ada angkutan umum, dan tangannya yang belum bisa bergerak leluasa, ia tetap bertekad ke sana. kiranya ada hal lain yang mendorong hati Aro untuk ke desa. Padahal, di sana tidak ada siapa-siapa.
Sementara itu, di rumah Astria termenung di kamar sembari menemani Aefon. Ia sudah tenang. Namun, ia tak tahu apa penyebab ia menangis sebelumnya. Lama termenung, terdengar Jion memanggil Astria dari ambang pintu dengan suara cukup pelan.
“Kamu kenapa? Semuanya baik-baik aja, kan?” tanya Jion.
“Aku rasa begitu,” balas Astria sambil memijat dahi.
“Jika kamu merasa begitu, aku inginmembicarakan suatu hal,” kata Jion.
Astria menatap lekat Jion. Jantungnya berdetak cepat, mengubah wajah menjadi lebih cemas dari sebelumnya. Walaupun, ia sendiri tidak tahu yang ingin Jion bicarakan. Kemudian, Astria mendekat ke Jion.
“Aku bukannya menakut-nakuti, tetapi kenyataannya begitu. Tempat ini akan hancur. Meteor seukuran truk sedang menuju kemari. Metero itu bisa saja menghancurkan seluruh provinsi Itya. Komandan menyuruh kami, seluruh relawan, untuk mengevakuasi semua penduduk. Kemungkinan besar, besok pagi mereka semua pergi. Untuk menghindari kemacetan besok, aku mengajakmu pergi sekarang. Jadi, berkemas-kemaslah sekarang,” jelas Jion.
“Kau? Yang benar saja. Tapi Kak Aro berada di desa. Kita harus menjemputnya,” kata Astria panik.
“Tidak ada waktu, Astria! Kumohon! Ini demi kamu dan Aefon juga. Zarch sudah menyiapkan semuanya. Kita hanya perlu segera pergi,” ucap Jion sambil meninggalkan Astria.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Tora: Unlocking Your Inner Strength
FantasíaTragedi bertubi-tubi yang Aro dan Astria alami, tak membuat mereka jatuh dalam kesedihan. Setelah desa pedalaman di Provinsi Itya hancur, mereka memutuskan untuk kembali ke Kulipa dan mencoba untuk menenangkan diridengan berlibur ke Melawa. Sangat t...