Harus setara, sesederhana itu namun terasa sangat menyakitkan.
.
.
.
.
.
Beberapa hari ini rasanya kepala Mada penuh sekali. Memikirkan kisah asmaranya, pekerjaannya, dan sekarang harus memikirkan bagaimana cara bapaknya Gantari menerima Mada sebagai kekasih Gantari. Tidak terbayangkan untuk Mada jika harus mengikhlaskan Gantari bersanding dengan pria lain.
Mada menghela nafas berat, kepalanya tertunduk bahkan beberapa kali Mada terlihat mengusak wajahnya frustasi, yang karena hal itu menarik perhatian Leo.
"Mikirin apa, bro?" Tanya Leo, membuat Mada menatapnya sekilas dengan tatapan lesuh. "Mikirin bokin lo?" Sambung Leo, kembali bertanya.
"Gimana cara gue bisa dapet restu bapaknya Gantari? Gue harus gimana nih, bro?" Keluh Mada.
Leo menggeser kursinya agar lebih dekat ke Mada. "Tunjukin aja kalau cinta lo seluas samudera dan ketulusan lo sebesar dunia." Balas Leo hiperbola. "Atau kalau lo nggak mau repot-repot bawa Gantari kawin lari aja." Sambung Leo dengan senyum menterengnya.
Menyebalkan, Mada langsung menatap Leo dengan kesal. Saran sahabatnya ini tidak pernah benar, bukan mendapatkan restu dari bapaknya Gantari yang ada Mada justru semakin dijauhkan dari Gantari, alias pintu restu benar-benar tertutup rapat untuk Mada.
"Tenang aja lah kau, kalau Tuhan udah bilang Gantari jodoh mu, mau bapak Gantari memaksa kek mana pun, udah nggak bisa dilawan dia itu kehendak Tuhan. Berdoa aja lah kau banyak-banyak." Leo mengeluarkan logat Medan-nya, yang artinya Leo sedang dalam mode serius.
Mada masih terlihat lesuh bahkan setelah Leo berusaha menyenangkan hati Mada dengan kata-katanya.
Leo langsung menepuk pundak Mada untuk membangkitkan kembali semangat Mada. "Coba ngomong langsung sama bapaknya Gantari, siapa tau begitu lihat ketulusan mu beliau langsung terbuka hatinya." Saran Leo kembali.
"Lo nggak lupa 'kan kalau gue pernah datang ke rumah Gantari buat melamar Gantari, tapi bapaknya secara nggak langsung menolak gue. Bibit bebet bobot itu penting, Yo." Jelas Mada.
"Wahh, . . Sulit ini, benar-benar solusi yang tepat kawin lari."
Mada tidak merespon dan memilih berjalan keluar studio untuk menenangkan pikirannya, mungkin dengan melihat langit siang hari yang menuju sore ini bisa sedikit mengangkat beban yang Mada tampung.
"Lho, bro mau kemana?"
"Tenangin pikiran." Balas Mada, sebelum menghilang dibalik pintu.
.
.
.
Niat hati ingin menenangkan pikiran, Mada justru mendapati bapaknya Gantari datang menghampiri studio miliknya hingga membuat Mada bingung, ada keperluan apa sampai bapaknya Gantari repot-repot mendatangi Mada.
"Pak." Mada tersenyum, yang kemudian menyalami bapak.
Bapak tidak berekspresi, hanya diam menatap lurus ke Mada yang masih menampilkan senyum manisnya.
"Kenapa nggak minta saya untuk berkunjung langsung ke rumah aja, pak? Sampai repot-repot bapak kesini."
"Harus setara, Mada." Ucap bapak tiba-tiba, membuat senyum yang terukir diwajah Mada perlahan menghilang. "Kamu harus tau kenapa pasangan itu perlu setara, agar kedepannya nggak ada saling menyalahkan. Hidup lah dengan realistis, cinta aja nggak cukup." Sambung bapak, menatap Mada.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING WITH YOU
FanfictionSebuah kisah mengenai arti dari mencintai yang sesungguhnya. Ini tentang Mada yang selalu mencintai Gantari hingga akhir hayatnya.