Bapak dan Ubannya

393 68 34
                                    

"Kuharap, esok pagi uban Bapak tak semakin bertambah."
-

♥♥♥


Helai demi helai rambutnya mulai memutih. Itu uban, menandakan semakin menua usia Bapak. Aku suka dengan rambut Bapak. Hitam legam, lurus dan begitu tebal.

Bapak juga tak pernah memanjangkan rambut miliknya, hanya pangkas cepak ala militer.

Kuhitung helaian uban di kepala Bapak. Satu, dua, tiga, empat. Hingga pertanyaan Bapak menghentikan aktivitasku.

"Ndok, sedang apa?" tanya Bapak sembari memutar badannya—melihatku yang tengah berdiri di belakang punggung kekar beliau.

"Ah ... tidak, Pak!" ucapku gugup lalu duduk di samping Bapak. Ibu datang dengan sepiring singkong panas, disusul oleh dua adikku di belakang beliau.

"Mbak ini, tidak bantu Ibu. Tetapi, paling pertama mencomot singkongnya!" omel adik bungsuku ketika melihat singkong berukuran besar masuk ke dalam mulutku.

Aku tersenyum, mulutku menganga—menyemburkan uap panas dari singkong yang baru saja diangkat. "Ah, maaf."

"Mbak, pelan-pelan toh makannya!" Kali ini Ibu yang angkat suara, aku mengangguk paham. Lalu mengipas mulutku dengan telapak tangan. Berharap, panasnya segera menghilang.

Singkong goreng buat Ibu begitu lezat. Ah, sepertinya ada resep rahasia di balik gurihnya singkong Ibu. Begitulah kira-kira pikirku.

Tanganku mengambil 2 potong singkong goreng—tak mau kalah dengan kedua adikku. Bapak juga terlihat gesit mengambil singkong dan memasukkannya ke dalam mulut.

Tak ada yang ingin mengalah, masing-masing takut kehabisan singkong goreng buatan Ibu.

Ibu hanya tersenyum. Tampak kerutan halus di sudut mata Ibu, menandakan usianya yang tak lagi muda.

"Pelan-pelan, toh," ucap Ibu sebelum beranjak ke dapur. Sepertinya ... beliau pergi untuk mengangkat singkong goreng yang ditinggalkannya tadi.

Dan benar saja, Ibu datang dengan sepiring singkong panas. Kali ini uap panasnya masih menyembul, memberikan aroma gurih dan asin khas singkong goreng.

Aku memasukkan sisa singkong goreng ke dalam mulutku, mengunyah dan menelannya kasar. Adik bungsuku berdiri tak sabar, tangannya mencomot singkong goreng panas di piring.

"Ah, panas!" teriaknya sembari melepas singkong goreng. Bapak dengan sigap menarik tubuh adik bungsuku—menghindari singkong yang terjatuh.

"Pelan-pelan, Laras!" ucap Bapak hampir sedikit berteriak. Aku yang melihat itu hanya terdiam, begitu juga dengan Gita—adik pertamaku.

"Maafkan Laras, Pak!"

Bapak tersenyum, lalu mengambil singkong goreng yang terjatuh tadi. "Jangan terburu-buru. Jadi luka, kan?" ucap Bapak sembari beranjak dari duduknya.

"Bapak buang dulu singkong goreng ini. Sudah jatuh, gak baik untuk dimakan." Aku memandang punggung kekar Bapak, punggung yang selalu menjadi sandaran untuk kami semua.

"Kamu si, Laras. Jadi sayang singkong gorengnya!" omel adik perempuan pertamaku—Gita. Gita lebih muda 3 tahun dariku, walau begitu ... tinggi kami hampir setara. Ah! Mungkin tiga atau empat tahun lagi, tingginya akan mengalahkanku.

~~

Aku suka memperhatikan Bapak. Terutama ... perut buncit seperti ibu hamil itu. Mengapa perut Bapak sebuncit itu? Begitulah pertanyaanku dulu. Sekarang aku tahu, mengapa Bapak memiliki perut sebuncit itu. Apa lagi, kalau bukan karena masakan Ibu?

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang