Secuil Cahaya di Rumah Kayu

154 48 36
                                    

"Lilin itu ... walau cahaya kecil. Ia tetap bisa memberi harapan."
-
√Ibu

♥♥♥

Malam itu hujan mengguyur deras desaku, terdengar petir menggelegar membuat Laras menutup telinganya takut. Laras juga bersembunyi di balik ketiak Ibu—hangat katanya.

"Gita, jaga lilinnya jangan sampai mati!" perintahku ketika melihat lilin mulai menari syahdu diterpa angin. Gita merangkup—melindungi secuil cahaya di rumah kami itu.

"Mbak ini, kenapa Gita sih? Pegal tahu. Ibu, lihat Mbak! Sewenang-wenang sama Gita." Aku menahan tawa mendengar setiap gerutu yang keluar dari mulut adik pertamaku itu.

"Ya ... gimana, ya? Mbakkan lagi mengerjakan tugas," jawabku santai masih melanjutkan tugas sekolah. Telingaku mendengar beberapa kali helaan napas berat dari mulut Gita. Ah, sepertinya Gita benar-benar kesal.

"Git," panggilku lirih. Gita menoleh, lalu menaikkan satu alis kirinya. 'Apa. Begitulah kira-kira terjemahan dari alisnya itu.

"Tidak ada. Jaga lilinnya, awas mati!" Aku menopang dagu, menguap menahan kantuk yang begitu berat.

"Iya, cepatan deh Mbak ngerjainnya. Aku juga mau rebahan, tahu!" omel Gita memanyunkan bibirnya. Aku hanya tertawa, lucu si.

"Bu, tadi dari mana?" tanyaku sembari duduk.

"Dari rumah tetangga, Mbak. Ada urusan sebentar tadi," jawab Ibu dengan senyuman hangatnya.

Aku hanya membulatkan mulutku 'oh, lalu mengangguk paham dan kembali merebahkan diri.

"Mbak! Giliran Gita yang rebahan." Tangan Gita mencekalku. Aku menatapnya lekat, lalu duduk kembali.

"Ya sudah. Nih!" Kusodorkan 2 buku tebal, lalu meregangkan ototku yang kaku di udara.

"Kerjakan yang benar, ya!" lanjutku sembari mendorong tubuh Gita—melindungi secuil api dari lilin yang mulai padam.

"Ih! Gita saja yang jaga lilinnya. Gita tidak mau mengerjakan tugas Mbak." Gita mengomel sebal, tampak lucu dari pipinya yang menggembung.

"Apa?" tanya Gita menatapku tajam, aku hanya membekap mulut—menahan tawa.

"Gak lucu tahu, Mbak!" teriaknya sembari menerjangku, lalu menggelitik tak memberi ampun.

"Ampun, Git! Geli ...." Kami bergulingan di lantai, Gita masih menggerayangi jemarinya di pinggangku.

"Git, sudah ih! Maafin Mbak!" teriakku sembari mengangkat kedua tangan menyerah.

"Gita, sudah!" Terdengar suara Ibu melerai kami. Pertahanan Gita mulai melonggar, lalu kudorong tubuh Gita dan melepaskan kunciannya.

"Dasar kamu ini. Bentar lagi juga selesai." Tanganku mengambil buku yang tergeletak di lantai. Membukanya dan melanjutkan kembali.

"Gita, cahaya dari lilin bisa menghasilkan bayangan yang indah loh," ucap Ibu yang langsung mengalihkan atensiku.

"Wah ... gimana caranya, Bu?" Aku menoleh ke Laras yang keluar dari persembunyian. Ah, pasti Laras begitu antusias, lihat saja matanya yang berbinar itu.

"Begini." Kulihat tangan Ibu mendekat ke lilin. Lalu membentuk sesuatu dari kedua tangannya.

"Nah, lihat di sana!" titah Ibu menunjuk arah tembok kayu. Ah, bayangan yang dihasilkan dari cahaya.

"Bagus sekali, Bu!" Aku menoleh, memandang Laras yang tampak terkesima. Begitu juga dengan Gita. Lihat, Gita bahkan sampai melongo.

"Laras juga mau mencoba, Bu!" Sekarang Laras juga mendekat ke lilin, tangan mungilnya tampak lihai membentuk sesuatu.

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang