Ibu dan Segala Kesibukannya

145 42 49
                                    

"Ibu hanya memiliki 2 tangan, tetapi mengapa bisa melakukan banyak hal, ya, Mbak?"
-

√Laras

❤️❤️❤️

Ibu memiliki kecantikan yang tak terlukiskan. Dua lesung menghiasi pipinya dengan anggun, sementara matanya memancarkan keindahan yang memikat. Bibir Ibu juga begitu ranum tanpa polesan lipstik, dan alisnya tebal bak garis sempurna—semakin menambah pesona pada wajahnya.

Bapak bercerita, bahwa Ibu adalah kembang desa yang mampu memikat hati hanya dengan seulas senyuman. Tak heran, meskipun Ibu telah memasuki usia kepala tiga, kecantikannya masih begitu memancar.

'Bapak, benar-benar tidak pernah melihat wanita secantik Ibumu.' Begitulah kata Bapak setiap kali memuji Ibu di hadapan kami. Bapak terlihat begitu bangga. Bagaimana tidak, ia berhasil memenangkan hati gadis pujaan para lelaki di desanya dulu.

Ibu juga bukanlah wanita karier, meskipun begitu ... Ibu adalah wanita yang paling cerdas di hidupku. Beliau bisa melakukan segala hal dan banyak hal. Benar-benar luar biasa.

Eits! Walau Ibu sosok yang lembut, tetapi beliau juga Ibu cerewet pada umumnya. Seperti pagi buta ini. Ibu sudah seperti toa masjid, suaranya melengking dan begitu menggelegar. Apalagi, setiap membangunkan kami untuk salat subuh.

"Ayu, Gita, bangun! Sudah jam 6!" Aku mengucek mataku malas, sudut mataku melirik jam yang menggantung di dinding.

"Masih jam 4, Bu!" lirihku sembari mengganti posisi nyaman. Bagaimana bisa, Ibu mengatakan 2 jam lebih cepat.

"Ayu, Gita!"

Dari panggilan Ibu, terdengar samar-samar suara kuali dan sutil berbenturan. Menghasilkan perpaduan selaras yang begitu mengusik pendengaran.

Aku bangun dari tempat tidurku, meregangkan otot-otot yang kaku dan belum siap menjalani hari.

Bugh!

"Ah," disisku merasakan sakit di pangkal kepala. Kepalaku tidak sengaja berbenturan dengan papan kayu pembatas kasur atas.

Walau bukan yang pertama kali. Tetapi tetap saja, kepalaku tak terbiasa terjotos seperti ini.

Aku menaiki tangga penghubung kasur, kulihat Gita masih terlelap dengan guling di pelukannya.

Dengan lembut, kuguncang tubuh adikku itu. Mencoba membangunkannya sambil sesekali menepuk kedua pipinya.

Gita bergeming—dia masih terlelap dalam mimpinya yang indah. Entah ada hal menarik apa di sana, sehingga membuatnya begitu nyenyak seperti ini.

Panggilan Ibu semakin membabi-buta, tak memberi jeda untuk kami menjawab. Bagi Ibu, kewajiban salat adalah hal yang tidak bisa diurung.

"Git, Bangun!"

Gita mulai menggerakkan badannya. Jemarinya juga tampak mengucek kelopak mata. Seulas senyuman terukir di wajahnya ketika melirikku. Tentu saja, aku tak menggubrisnya.

"Pagi, Mbak!" sapa Gita yang hanya kubalas dengan senyuman tipis, tampak bekas iler yang mengering di sudut bibirnya.

"Bangun Git, kalau tidak mau kasur kita roboh!" ujarku yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Gita.

Ibu masih terus memanggil dengan suara yang menggelegar. Aku turun dan mendatangi Ibu di dapur. Ibu tampak sibuk memasak, tangannya begitu lihai dan cekatan.

Aroma sedap masakan Ibu menusuk hidung, membuat perutku meronta-ronta meminta makan.

"Bu," panggilku tak membuat atensi Ibu teralihkan.

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang