Teman Sekelas

108 38 27
                                    

"Sudah berapa kali kukatakan, jangan panggil aku Kayu Manis."
-

Gita sudah bersiap. Dengan baju olahraga yang tampak kekecilan. Kami akan berangkat dengan berjalan kaki. Menikmati udara segar khas pedesaan.

Semburat cahaya tampak malu-malu. Tersenyum tipis begitu menawan. Hujan kemarin meninggalkan jejak basah di ranting dan dedaunan. Menetes seperti alunan musik bernuansa klasik.

Kubangan air seperti danau kecil di sepanjang jalan. Adikku—Gita tampak asyik melompat dari satu kubangan ke kubangan lain—menjadikannya halang rintang.

"Gita, hati-hati!" teriakku sembari memperhatikan setiap lompatan Gita. Aku takut dia terpeleset, dan tentu saja ... hal itu akan membuat Ibu mengamuk.

"Git," panggilku sekali lagi. Gita masih mengabaikanku. Bahkan, menoleh saja tidak.

"Agita Arumi Karmila!" ucapku membuat langkah Gita berhenti. Gita berbalik arah—berkacak pinggang.

"Kenapa si, Mbak? Ini seru tahu! Coba deh!" Aku mempercepat langkahku, menjitak kepalanya untuk yang kedua kali.

"Mbak!!"

"Ayo, jangan main lagi!" ajakku sembari menggandeng tangan kanannya.

"Sakit tahu!" Gita hanya mengomel di sepanjang jalan. lengannya kugandeng erat supaya tidak kabur.

"Mbak, lepasin ih! Sudah seperti penjahat saja Gita." Aku hanya tertawa mendengar setiap gerutu yang keluar dari mulut adikku itu.

"Sebentar lagi sampai kok," rayuku membuat Gita cemberut.

"Sudah, jangan marah-marah terus. Nanti cepat tua loh," godaku sambil tersenyum, "mending kita bernyanyi saja!"

Kami bersenandung bersama, menyanyikan lagu 'Tik Tik Tik Bunyi Hujan' karya Bu Sud. Sangat sesuai dengan suasana pagi ini, bukan?

"Airnya turun, tidak terkira. Cobalah tengok, daha—"

"Huwaaa!!" Gita berteriak membuatku tersentak. Sontak kulepaskan gandengan tangannya.

"Ada apa?" tanyaku seraya menoleh ke Gita yang berada di sisi kanan.

"Mobil itu!" Gita menunjuk mobil putih yang berhenti tidak jauh dari kami.

"Kenapa?" tanyaku sembari memperhatikan Gita. Ah, ternyata kubangan air yang dilewati mobil itu mengenai celana adikku.

"Mbak, lihat! Celana Gita kotor," seru Gita, lalu berlari menghampiri mobil putih yang berhenti di depan. Aku segera mengikutinya—khawatir adikku akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak.

"Git, tunggu!"

"Heh, keluar! Bisa lihat tidak? Lihat, celanaku kotor!" Aku mendengar Gita berteriak marah. Kakinya juga tampak menendang ban mobil.

"Git—"

"Maaf, supirku tidak sengaja!" Sebuah suara mengalihkan atensiku. Dari jendela mobil yang terbuka, aku melihat seorang pemuda mengenakkan seragam yang sama seperti milikku.

"Tidak sengaja? Lihat ini, kotor!" Gita masih mengomel kesal, sedangkan aku hanya memerhatikan adikku itu.

"Ah, maaf. Aku ambilkan tisu dulu!" ujar pemuda itu, lalu menghilang di balik kaca jendela.

"Git," panggilku membuat Gita menoleh.

"Tenang, Mbak! Ini tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik." Aku hanya menghela nafas, membiarkan adikku mengomel dalam pantauanku.

"Ini." Pemuda itu keluar dari mobil, wajahnya yang tak asing dengan garis hidung mancung serta rambut ikal coklat alami memantulkan cahaya mentari—menyilaukan.

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang