Murid Kesayangan Guru

106 40 29
                                    

"Matahari itu satu, begitu pula bulan."
-
"Terus?"
-
"Tidak ada, memangnya kamu tidak tahu kalau mereka ada satu?"
-

♥♥♥

Pelajaran Bu Qila selesai 2 menit yang lalu. Sembari menunggu jam pelajaran selanjutnya, kupelajari buku yang kupinjam kemarin di perpustakaan.

"Ayu!" Suara cempreng dari seseorang mengalihkan atensiku. kulihat, Ana yang berkucir kuda—duduk di kursinya—kursi yang sempat dingin beberapa jam yang lalu.

"Tunggu, bukankah rambutmu tadi terurai? Menga—"

"Pak Adam!" Ana memotong perkataanku, ucapannya membuatku mengernyitkan dahi.

"Pak Adam berkata seperti ini." Mataku mengikuti Ana yang berdiri tegak, dengan tangan bertengger di pinggangnya yang ramping. Ah! Dia sedang memperagakan gaya khas Kepala Sekolah kami, toh—Pak Adam, yang berwibawa.

"Kamu Ana, sekali lagi saya lihat rambut kamu terurai ... saya akan potong!" Terdengar suara Ana yang sengaja diberatkan. Tangan kirinya juga memegang jenggot—seperti kebiasaan Pak Adam. Tawaku pecah melihat tingkah konyol sahabatku ini.

"Sudah Ana. Hentikan, sakit perutku!" ucapku sembari menahan tawa. Kulirik Ana yang sudah kembali duduk di kursinya.

"Perihal rambut doang. Ayu kan tahu, rambut mahkota bagi Ana. Seperti Ayu, hijab adalah mahkota." Aku tertegun dengan ucapannya. Lalu tersenyum—mencoba menghibur sahabat yang sudah kukenal sejak di bangku SD itu.

"Anasya, Ayu tahu. Anasya begitu mencintai rambut Anasya yang cantik ini, bukan?" ujarku sembari memilin ujung rambutnya, "rambut pirang alami yang akan menari setiap kali berlari." Kulepaskan jemariku, tercium aroma vanila dari jejak rambutnya.

"Tetapi ... mau bagaimanapun, peraturan ya tetap peraturan. Ana sudah tahu itu, bukan?" Ana mengangguk, lalu tersenyum menampilkan gigi gisulnya yang mungil.

"Anak pintar!" ujarku seraya menyapu lembut pucuk kepala Ana.

Sekolah ini memiliki beberapa peraturan. Salah satunya, bagi siswi yang tidak mengenakan hijab harus mengucir rambut mereka. Katanya si, ini sekolah, bukan ajang fashion show.

"Ini, materi Bu Qila tadi. Lekas dicatat!" Kusodorkan buku bersampul batik Mega Mendung ke arahnya. Dengan sigap, sahabatku itu langsung memeluk lengan kananku.

"Makasih, Ayu. Huhuhuhu kamu pengertian banget! Nanti Ana traktir bakos, ya?"

"Bakso, Ana!" ucapku sembari merotasikan bola mataku. Ana yang masih koala, semakin mempererat tenggerannya.

"Lepas, Anasya! Lebih baik kamu catat materi itu. Bukuku tidak akan bertransmigrasi ke rumahmu, ya!" Kurasakan pelukan Ana tak seerat sebelumnya. Bibirnya juga terlihat memanjang seperti hidung Pinocchio ketika berbohong.

"Transmisi? Apa itu? Bahasa Ayu terlalu berat buat otak udang Ana!" Ana mendumel, mencerca banyak pertanyaan.

"Transmigrasi Anasya!"

"Iya, iya. Apa itu?!" tanyanya lagi.

Aku menoleh ke arahnya. "Transmigrasi yaitu, berpindah dari daerah padat ke wilayah yang jarang penduduknya. Tetapi di sini, Ayu mengibaratkan buku. Perpindahan buku Ayu ke rumah Ana!"

"Oh, Ayu pintar sekali."

"Tid—"

"Assalamu'alaikum, hari ini Bu Siwa tidak hadir. Beliau sedang sakit. Tugas akan ditulis oleh sekretaris di papan tulis." Sebuah suara memotong perkataanku. Terlihat, Bian—ketua kelas, sedang memberikan instruksi di depan.

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang