Mengapa?

128 42 29
                                    

"Ayu ...."
-
""

♥♥♥

Asap putih menyilaukan pandanganku. Kukerjapkan mata untuk menjernihkan netraku kembali. Beberapa hari ini penglihatanku memburuk. Terkadang, rasa pusing juga sering menghampiri.

"Ayu."

"Ah!" Kupijat lembut pelipisku. Rasa pusing semakin mendominasi.

"Hei ...."

Beberapa seruan terdengar lirih di kepala. "Sakit!" ucapku lalu mencoba duduk di bangku lapangan.

Mataku terpejam, merasakan setiap nyeri seperti sengatan listrik itu. "Ah, aku harus segera pulang. Aku tak mau membuat Gita menunggu!"

"Ayu ...!" Aku menoleh ke sumber suara, lalu menautkan kembali bokongku dengan bangku yang terbuat dari ban mobil itu.

"Ayu kok belum pulang?" tanyanya sembari melangkah mendekat, kemudian duduk tepat di sampingku.

Aku terdiam sejenak. "Sedang menikmati keindahan sekolah saja," jawabku berbohong seraya memandang hamparan rumput yang mulai menjulang.

"Mengapa Anasya juga belum pulang? Belum dijemput, ya?" Aku menoleh—menatap manik coklat milik gadis berkucir kuda itu. Tidak biasanya ia pulang selama ini.

"Jangan panggil Anasya, Ayu. Panggil saja Ana!" ujarnya sembari berekspresi menggemaskan layaknya anak kecil merajuk.

Aku tersenyum, lalu mengalihkan pandanganku darinya. "Teman-teman yang lain tidak boleh memanggil Ana. Mengapa Ayu diizinkan?" Sebab, Anasya selalu marah jika ia dipanggil Ana.

"Ayu sahabat Ana. Jadi panggil Ana saja. Yang lain tidak boleh!" Lagi-lagi aku tersenyum. Menghela nafas berat yang begitu melelahkan.

"Mengapa kemarin tidak masuk?" tanyaku sembari menoleh ke arahnya. Gadis keturunan bule yang nyasar ke desa itu menatapku.

"Ah, kemarin Ana pergi. Maaf, tidak memberi tahu Ayu." Aku tak menjawabnya, lagi-lagi hanya memalingkan wajah—melihat rumput yang tampak begitu subur di lapangan.

"Tidak mengapa. Ana ... cuma tidak bisa menghubungi, Ayu, bukan?" Aku bahkan belum pernah menggenggam ponsel tipis seperti milik Ana.

"Ah! Maaf, Ayu." Eh, mengapa Ana meminta maaf?

"Bu—"

"Ayu!" Gadis dengan aroma vanila itu memelukku erat, begitu erat hingga dapat kurasakan deru nafasnya yang hangat.

"Ana ...," panggilku sembari mengelus lembut punggungnya. Ana melepaskan dekapan. Tampak lembab dari kedua netranya yang jernih.

"Ayu, Ana akan selalu ada buat Ayu!" Ana menggenggam kedua tanganku, tangannya begitu terasa gemetar.

"Terima kasih Ana." Lagi-lagi Ana terlihat seperti malaikat. Wajahnya yang cantik, akan membuat siapa saja terpikat.

"Sepertinya ... pak Bondan sudah sampai. Hari ini, Ayu dan Gita pulang bersama Ana, ya?" Ana menarik lenganku. Rambutnya yang terkucir, berdayu bak harmoni lagu.

♪♪♪

Kami tiba di sekolah Gita tepat lonceng berbunyi. Tampak riuh para siswa berhamburan seperti menghirup udara kebebasan. Kulihat, gerbang berkarat kian bergesekan dengan baju para siswa yang berhimpitan, lalu meninggalkan jejak kotor sebagai bukti atas keberhasilan mereka.

Gita mungkin menjadi salah satu siswa dengan jejak kotor itu. Adikku itu sangat aktif dan ya ... bahkan celananya penuh dengan lumpur.

"Ayu, lihat Gita!" Ana menunjuk Gita yang mulai mendekat, "kotor sekali celananya. Hahahah." Kutepuk jidatku. Mengapa bisa sekotor itu?

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang