Bapak dan Sepenggal Puisi

196 58 26
                                    

"Engkau adalah pelita bersama Ibu dalam mengarungi bahtera kehidupan."
-

♥♥♥

Suara motor tua peninggalan kakek memecah keheningan di pagi hari. Bahkan, bisingnya menyaingi jangkrik dan katak di sawah. Ah! Jangan heran, motor antik ini memiliki suara yang begitu khas. Lihat saja, para petani langsung menoleh setiap kali Bapak lewat di persawahan.

Jok tipis motornya juga membuat bokongku sakit, setiap kali Bapak menghantam batu di jalanan. Selain itu, footstep yang tersisa sebelah kanan sering pula menjadi bahan rebutan dengan adikku—Gita.

Kami selalu berangkat bersama, menghirup udara segar sekaligus menikmati hamparan sawah yang mulai menguning.

"Ayu, Gita. Tutup hidung!" perintah Bapak yang langsung kami mengerti.

Drot ... tot ... tot ... tot

Asap hitam yang diiringi suara knalpot menyelimuti kami, memberikan aroma tak sedap khas oli mesin. Bapak melajukan motornya cepat—takut kami terlambat.

"Pak, Pak!" Kulihat tangan Gita menepuk pundak Bapak. "Sekolah Gita kelewatan."

"Ah, iya!" sahut Bapak langsung mengerem motornya mendadak. Gesekan ban dengan jalan berbatu membuat kepala kami berbenturan.

"Aw," desisku merasakan sakit di kepala.

"Turun dulu, Mbak," ucap Gita terburu hampir mendorongku.

Aku mendengus kesal, lalu memberikan tas miliknya yang dari tadi kutenteng di tangan kanan.

"Makasih, Mbak!"

Gita memakai seragam merah-putih, dengan sepatu hitam yang tampak lecek. Roknya juga sudah di atas mata kaki, serta terdapat tempelan kain di sana sini.

Aku tersenyum melihat adik pertamaku. Aku tahu, hampir semua barang miliknya adalah bekas pakaiku. Meskipun begitu, Gita tak pernah mengeluh. Justru, ia sangat berprestasi di bidang olahraga.

"Gita masuk dulu, ya, Pak!" pamit Gita setelah mencium kedua telapak tangan Bapak. Kulihat Bapak tersenyum, lalu mengelus lembut kepala Gita.

"Gita, belajar yang rajin, ya!" teriakku mengundang perhatian. Gita hanya tersenyum sembari melambaikan tangannya, lalu menghilang di kerumunan siswa.

"Ayo, Mbak!" ajak Bapak yang langsung kuangguki.

Bapak mengengkol kick starter motornya, tetapi hanya terdengar suara mesin kering dari sana.

"Mbak, sepertinya motor Bapak kehabisan bensin," ucap Bapak masih berusaha mengengkol kick starter yang tak kunjung hidup.

"Pak, Ayu jalan saja. Sekolah Ayu juga sudah dekat kok," ucapku sembari mengulurkan tangan—berpamitan dengan Bapak.

Bapak tersenyum, lalu mendorong motor tuanya. "Bapak antar sampai sekolah, ya!"

"Ayo!" ajak Bapak yang langsung kususul dari belakang.

Pagi itu mungkin aku terlambat ke sekolah, tetapi berjalan beriringan bersama Bapak ... adalah hal yang tak bisa kuulang.

Dari samping, aku bisa melihat beberapa helai uban Bapak. Kualihkan pandangan, menahan air mata yang hampir tumpah ruah. Aku takut rambut Bapak semakin memutih. Aku takut belum bisa membahagiakan Bapak dan Ibu.

"Mbak!" Aku tertegun, lalu menatap wajah Bapak.

"Gak masuk?" tanya Bapak yang langsung membuatku gelagapan.

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang