Agita Arumi Karmila

159 55 29
                                    

"Ini pemberian Bapak, Mbak! Bapakkan jarang membelikan aku barang baru."
-
√Gita

♥♥♥

Jemariku menyeka bulir keringat yang jatuh dari sudut dahi. Dengan napas tersengal, kupanggil Gita yang sudah beberapa langkah di depan.

"Gita, berhenti sebentar!" panggilku sembari mengatur napas. Gita menoleh, lalu memutar balik menujuku.

"Capek, Mbak?" tanyanya sembari memainkan 2 tas milik kami.

"Iya," jawabku singkat. Adikku itu memiliki stamina yang luar biasa. Pantas saja, dia selalu mewakilkan sekolahnya dalam pertandingan O2SN.

"Gita, jangan diputar tasnya!" omelku kesal melihat tingkah Gita. Sudah berapa kali Ibu menjahit tas milik kami karena ulahnya itu.

"Hehehe. Mbak mau aku gendong?" tanya Gita yang langsung membuatku mengernyit. Gita juga sudah memosisikan tubuhnya setengah jongkok.

"Mbakmu ini kuat. Gunung Everest saja ... masih sanggup Mbak daki sekarang," ujarku sembari berlalu mendahului Gita.

"Kalau begitu, kita lomba lari!" teriak Gita sembari memamerkan kemampuannya. Dengan sigap, kukencangkan aba-aba. Lalu, kukejar tak mau kalah.

"Siapa takut!" balasku bersemangat mengejar adik perempuanku itu.

Di siang terik itu, kami berlari menyusuri persawahan. Bercanda gurau menikmati hamparan sawah.

"Hore! Gita menang!" Napasku tersengal, dengan badan basah bermandikan keringat. Tampak raut bahagia dari wajah Gita. Ia juga bersorak—mengundang perhatian Ibu dan adik bungsuku.

"Mbak Gita, kenapa?" Pertanyaan Laras menghentikan tawa Gita. Gita tersenyum, terlihat gigi putih berbaris rapi di sana.

"Sudah pulang, toh! Ayo, masuk. Ibu sudah masak sambal tahu. Tapi, ganti baju dulu, ya!" titah Ibu dengan lembut sembari mengulurkan tangan menyambut kepulangan kami.

Ibu adalah sosok yang begitu hangat, hampir tak pernah terdengar nada tinggi dari suaranya. Ibu juga selalu tersenyum, menabur kebahagiaan untuk kami sekeluarga.

"Ibu tunggu di dapur, ya!" ujar Ibu meninggalkan aku dan Gita di depan pintu kamar.

"Git—"

Brugh!

Kepalaku terbentur pintu yang ditutup oleh Gita. Sudah 2 kali kepalaku terbentur hari ini. Semoga saja, tidak ada memar yang membuatku cedera.

"Sabar Ayu. Kamu sabar, kamu cantik!" ucapku menyemangati diri sendiri.

Aku dan Gita sudah berganti pakaian, menggunakan kaos kembar pembelian Ibu di pasar. Ibu sering membelikan kami bertiga pakaian yang sama—lebih hemat katanya.

"Nah, ini sambal tahu dan kol beningnya, silakan dimakan anak-anak Ibu," ucap Ibu sembari menghidangkan makanan di meja.

Aku mencentong nasi hangat, sepertinya Ibu baru saja mengangkatnya. Lalu, kuambil lauk serta kol bening yang tampak begitu lezat. Beberapa kali, aku menelan saliva—tak sabar ingin menyantap.

Laras, adik bungsuku juga ikut makan bersama. Kata Ibu, dia tak mau makan sendiri.

"Ibu minum!" pinta Laras kepedasan. Lihat saja, wajahnya penuh dengan keringat. Dengan sigap Ibu memberikan segelas air. Lalu, adikku menenggak tanpa sisa.

"Pedas, ya? Maaf, ya ... Ibu masak kepedasan. Tapi Laras hebat, loh! Sudah pintar makan pedas. Terima kasih, ya!" puji Ibu yang langsung membuat Laras gembira, begitu kentara dari wajahnya yang memerah.

Ini (bukan) Cerita Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang