SKMK: VII

756 73 10
                                    

Disini, disini ia berada sekarang, di hamparan rumput hijau yang luas, matahari yang sangat mendukung aktivitas manusia dan kicauan burung yang terdengar merdu di indra pendengaran, dipadukan dengan pohon-pohon rindang yang berada disana.

Netra tajam itu menyapu seluruh taman yang berada di sekitarnya. Hanya terdapat beberapa pohon yang menjulang tinggi dan juga sebuah kursi panjang di depan sana yang diduduki oleh seorang gadis dengan gaun putih selututnya. Dirinya lantas berjalan pelan mendekati bangku itu.

Saat sudah berada tepat di belakang gadis itu, dirinya langsung menepuk pelan pundaknya hingga seorang gadis tadi menoleh kebelakang dan menatapnya.

"Loh? Oniel? Lo kenapa bisa disini? Mana yang lainnya? Bukannya tadi lo bilang mau pulang karena ada urusan?" rentetan pertanyaan Freya lontarkan pada seorang gadis yang ia tepuk pundaknya dan ternyata gadis itu adalah temannya sendiri, Oniel.

"Gue sama yang lain emang ada urusan, tapi urusan gue buat nemuin lo itu lebih penting. Makasih, Frey, makasih karena udah bisa bertahan." Oniel tersenyum walaupun di wajahnya terlihat jelas jika ia sedang menahan bulir bening di pelupuk matanya.

"Apasih? Gak jelas lo, sekarang gue tanya, kemana bunda, ayah sama adek gue?" tanya Freya dengan alis yang menyatu, "Gue ngerasa tujuan gue bukan kesini, tapi pulang buat makan siang," lagi, Freya terus berbicara dihadapan Oniel.

"Me-mereka, mereka udah nggak ada F-frey, mereka ga-gak selamat," jawab Oniel terbata. Freya lantas kembali mengerutkan dahinya, kali ini lebih jelas dan menukik. "Maksud lo apa, Niel? Ngomong yang jelas jangan kayak orang gagap gitu."

Oniel mendesah nafas pelan, menunduk kemudian kembali menaikkan pandangannya pada Freya. "Papa, mama dan adik lo Flora udah nggak ada. Udah meninggal."

Mendengar penjelasan dari Oniel tentu membuat rahang Freya mengeras dan tak terima dengan pernyataan tersebut. Freya dengan kuat mencengkram bahu Oniel hingga berbekas. Oniel diam, tak menjawab ataupun menyuruh untuk Freya melepas cengkramannya.

"Kalau ngomong jangan ngaco anjing. Lo nggak pantas bilang kayak gitu sama gue! Orang tua dan adek gue masih hidup, bajingan." desis Freya tak suka. Matanya memerah menahan tangis diikuti oleh degup jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Gue emang suka bercanda tapi gak mungkin kematian seseorang gue jadiin bahan candaan juga, Frey. Gue masih waras untuk hal itu." Oniel menggeleng heran dengan pernyataan tak berbobot dari temannya.

"Dok, jantung pasien semakin lemah."

"Kita coba lagi, jangan menyerah."

Tiba-tiba saja kepala Freya berdenyut, membuatnya harus menahan sakit yang tak pernah ia rasa sebelumnya. Cengkraman pada bahu Oniel juga terlepas, rasa sakit itu kian menjalar dan juga diikuti oleh suara-suara asing yang berkecamuk di kepalanya.

Freya terjatuh, berlutut diatas tanah beralaskan rumput hijau itu. "Ni-niel, s-sakit," suara Freya melirih. Sakit yang menjalar di kepalanya membuat kepalanya hampir pecah.

Oniel berlutut mengikuti Freya, dirinya dengan pelan mengambil kedua tangan temannya yang terus saja meremas rambutnya dengan kuat. Harap-harap rasa sakit itu hilang dengan tindakan yang dilakukannya.

"Jangan di pukul, nanti sakit." ucap Oniel dengan lembut dan berhasil menghipnotis Freya.

"Sakit ...," lirihnya terisak. Oniel mendekap tubuh Freya, mengusap kepalanya agar rasa sakit yang temannya rasakan perlahan menghilang.

"Engga apa-apa, Frey, sakitnya gak lama sebentar lagi juga hilang." tangannya terus mengusap rambut hitam legam milik Freya.

Dari kejauhan, Freya melihat seorang pria dan wanita yang sudah cukup berumur tengah menggenggam tangan seorang gadis yang hampir seumuran dengannya. Ketiga orang itu dengan pelan membalikkan badannya, hingga wajah masing-masing dari mereka terlihat jelas di indra penglihatannya.

Setelah kepergian Dan menyusul kepulangan [SLOW UP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang