'Kehidupan ini... apakah benar-benar layak disebut sebagai satu kehidupan?'
.
.
.
.
.Kertas putih bersih telah ternodai oleh tinta hitamnya dengan tulisan tangan yang tak begitu cantik namun masih bisa terbaca dengan lumayan jelas. "Beres!" Ujar seorang pemuda dengan penuh semangat meski kedua matanya menampakkan rasa lelah yang kronis disana, toh, waktu sedang menunjukkan tengah malam hampir dini hari dan ia masih terjaga di meja belajar. Ia meletakkan pena tersebut dan membaca ulang tulisannya, berselang beberapa menit, ia tersenyum lebar seolah tampak puas dengan hasilnya. "Ahaha, oke, besok siang aja deh ngirim sampelnya, sekarang waktunya tidur!" Sambungnya, ia buru-buru membanting tubuhnya ke atas kasur empuk sambil menarik selimut karena hawa malam hari yang begitu dingin menusuk sampai ke tulang.
Bukannya segera tidur, ia malah termenung menatap langit-langit diatasnya, ditemani pencahayaan remang-remang jingga yang bersumber dari lampu tidur antik pemberian kakeknya di atas meja nakas membuat suasana melankolia. Ia secara mendadak merasa sedih tanpa alasan saat mendengarkan keheningan, pandangannya teralihkan pada sebuah cermin di sebelah tempat tidur yang samar-samar menampakkan refleksi dirinya tersenyum dalam kegelapan.
'Kami selalu menemanimu, biarkan kami membawakan warna dirimu yang hilang, Boy.'
❈❈❈
Matanya terarah pada jam tangan kuno pemberian sang kakek beberapa tahun silam yang ternyata masih bekerja dengan sangat baik tersimpan di atas meja belajarnya. Bagaimanapun, barang antik biasanya mampu bertahan lebih lama, 'kan? Dilihatnya benda itu sedang menunjukkan pukul 8 pagi, ia bergegas mengenakan jam tangan dan mengambil ransel berukuran sedang berisi beberapa pakaian dan hal-hal miliknya yang lain termasuk buku jurnal yang selalu ia gunakan untuk menulis. "Aku gak boleh telat hari ini, bisa-bisa aku bakal ketinggalan kereta lagi! Tapi... duh, mana ya..." Ujar pemuda yang sedang mencari-cari topinya, jangan heran, ia begitu pelupa meski umurnya masih terbilang sangat muda. Ia membutuhkan beberapa menit untuk menemukan topi oranye yang sudah menjadi ciri khas sejak kecil, setelah itu barulah ia merasa tenang meninggalkan rumahnya, Boboiboy akan melakukan perjalanan ke Pulau Rintis untuk kedua kalinya!
❈❈❈
Boboiboy, seorang penulis amatiran berusia 17 tahun yang disenangi oleh kebanyakan masyarakat karena ia gemar membantu siapa saja yang sedang kesusahan tanpa pandang bulu. Di kota, ia tinggal bersama kedua orang tua yang begitu sayang terhadapnya, mereka menjalani kehidupan ideal yang sangat didambakan. Namun, semua kehangatan itu memudar secara drastis ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Ditambah lagi, mereka sepakat tak akan memberitahukan alasan jelasnya kepada Boboiboy yang kemudian membuat pemuda itu benar-benar berada di puncak keterpurukan pada usia yang baru saja menginjak 10 tahun. Untungnya, Boboiboy mampu melewati masa-masa berat itu dengan begitu cepat semenjak ia mengenal orang-orang baru di Pulau Rintis. Benar, Boboiboy memilih untuk pergi menemui kakeknya di Pulau Rintis disaat ayah dan ibunya saling memperebutkan hak asuh Boboiboy. Di Pulau Rintis, ia menemukan kembali bagian-bagian dari dirinya yang hilang, menemukan kembali hidupnya.Pada awalnya, Boboiboy mengunjungi kakeknya, Tok Aba, itu hanyalah sebagai pelampiasan, sebagai pengalihan bagi dirinya terhadap kehidupan keluarga yang berantakan. Namun, setelah tinggal berbulan-bulan lamanya di Pulau Rintis, ia menyadari bahwa kehidupan yang dianggap telah berakhir di dasar lautan yang dingin saat itu kini kembali ke hangatnya permukaan, mentari itu tersenyum lagi. Tapi tetap saja, Boboiboy harus segera kembali untuk setidaknya melakukan urusan mutasi peserta didik dari sekolah asalnya yang berada di kota, pikirnya. Namun sayang sekali, sang ayah tak menyetujui Boboiboy untuk pindah sekolah, ia harus menyelesaikan pendidikannya di kota tempat ia tinggal. Boboiboy tak bersikeras, ia bersedia dengan penuh pengertian untuk mengikuti perkataan ayahnya asalkan ia diperbolehkan untuk mulai belajar berdikari, hidup mandiri, dengan tak banyak bergantung pada pihak ayah maupun ibu, mereka tentu sepakat.
❈❈❈
"Fyuh~ Gak sabar banget mau ketemu Tok Aba sama temen-temen lagi! Mereka masih inget mukaku gak ya? Pasti pada glow up semua nih." Boboiboy terkikik membayangkan bagaimana wajah-wajah itu akan menyaksikan kepulangannya kembali ke Pulau Rintis, ia menjadi tak sabaran untuk memeluk Tok Aba dan menyapa teman-temannya saat penghentian di stasiun yang sama saat pertama kali ia datang. Boboiboy menghela nafas dalam-dalam sebagai upaya menenangkan diri dari pikiran terlalu bersemangatnya sendiri. Iris cokelat mengedar keluar jendela, dilihatnya persawahan luas tampak tak berujung begitu memanjakan indera penglihatan sementara kereta melaju kencang sepanjang landasannya. Ia kemudian membuka jendela agar lebih leluasa menghirup udara segar yang tak terkontaminasi oleh polusi itu. Senyum Boboiboy melebar saat burung-burung bernyanyi dengan merdunya sambil bermain kejar-kejaran melintasi langit, rasanya sangat menenangkan, terlebih lagi cuaca berawan yang sejuk senantiasa menyertai perjalanannya. Boboiboy terbawa suasana, pemuda itu memejamkan matanya berlama-lama hingga ia merasakan tepukan sopan pada pundaknya."Selamat pagi, dik Boboiboy? Saya dari Railfood Team ingin menawarkan camilan sehat buat adik sebelum makan siang nih, tertarik?" Ujar seorang pelayan wanita berpakaian rapi yang tersenyum ke arah Boboiboy sambil membawa trolley makanan berisikan camilan.
Boboiboy terkesiap, tersadar dari lamunannya. Ia sedikit menengadah untuk menatap sang pelayan yang berdiri disamping tempat duduk, lalu tersenyum manis pada wanita itu. "Eh? Uh... ya! Boleh boleh, terima kasih tapi namaku bukan Boboiboy, mbak. Mungkin mbaknya salah orang..."
"Astaga mohon maaf, saya cuma menyebutkan nama sesuai data yang dikasih sama atasan saya. Baik, baik, lalu siapa nama adik ini kalau saya boleh tahu?"
"Namaku Ice, salam kenal."
.
.
.
.
.'Perasaan menenangkan itu, mengubahku sesaat.'
THE PRELIMINARY ENDS.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 TEEN'S PLAY! [ALTER EGO]
Fanfiction"Berdikari berujung ngeri." . . . "Ini semua tentang kisahku bersama diriku sendiri, sendirian, namun berdiri dengan tujuh jati diri untuk menentang hari-hari yang semakin membenci, hingga saat ini." Boboiboy, diceritakan ia sebagai pemuda menyenang...