BAB 5: CIA

10 1 1
                                    

"Pak."

"..."

"Pak Tama?"

Tama terkesiap menoleh ketika lengannya ditoel seseorang dari belakang. Agak kaget, mendapati Ameera tiba-tiba nongol di depan mata.

"Kamu ... ngapain di sini?" tanya Tama bingung. Jelas masih ngang ngeng ngong. Ditambah lagi, dia baru saja diberi tau jika istrinya meninggal.

Ameera meringis tanpa dosa. "Euh, disuruh Tristan Pak. Buat jagain ponakannya dia, katanya."

Aslinya Tama ingin sekali berteriak; "KOK KAMU YANG DISURUH?!" tapi berhubung ada hal lain yang lebih penting untuk diurus, sehingga tuh cowok buru-buru mengangguk dan memberikan Cia. Lagipula, ini hanya sementara.

"Titip Felicia, anak saya."

"I-iya Pak, ASTOTENG BERAT BANGET NIH BOCIL?!"

Erangan khas Ameera sontak membuat anak terbangun. Felicia mendongakkan kepala dan memicing, hidungnya yang merah sebab terlalu semangat menangis sebelumnya, kini menyerngit bingung karena ada Ameera.

"Kamu ... ciapa?" lalu Cia menoleh pada Tama. "Euh? Dia ciapa, Papa?"

"Namanya Tante Ameera," ujar Tama penuh penekanan.

"Tante Ameel?"

"Halo, Cia. Hehe." Ameer meringis cengo. Sementara Cia makin menyerngit heran.

"Kenapa Tante Ameel gendong Cia?"

"Cia, listen to Papa," ucap Tama kemudian. Menangkup kedua pipi anaknya dan menatap matanya lurus-lurus. "Cia ikut Tante Ameera dulu ya?"

"Iya. Sama Tante Ameer ya?" imbuh Ameera.

Cia menggeleng. "Memangnya ... Papa mau ke mana?"

"Papa mau ... mengurus mama dulu. Cia tidak boleh ikut."

"Kenapa tidaaak..." Cia sudah bersiap mewek lagi. Matanya belum-belum sudah berair duluan.

"Nanti ribet, Cia. Intinya Cia sama Tante Ameer dulu." Tama mengelus pundak sang anak.

"NGGAAKKKK!" Cia kembali menangis. Tubuh kecilnya bergerak mereog tidak karuan, membuat Ameer harus mendekap erat-erat agar tak terjatuh.

"Ci, Ci, jangan reog. Malu noh dilihat banyak orang. Emang kamu nggak malu? Kucing aja insecure lihat kelakuan kamu!" bisik Ameer agak keras. Membuat Cia lantas melotot ke arahnya. Ameer nggak ngibul, karena selanjutnya tuh cewek mengedikkan dagunya pada kucing hitam yang nangkring di dekat lobi.

Tuh kucing sedari tadi memang ngelihatin Cia mulu. Nggak tau deh, apa muka Cia yang imut sebelas duabelas kayak hamster?

"Tante bawel!" Cia mencebikkan bibirnya ke bawah, tangannya menepuk pundak Ameer pelan dalam kondisi masih terisak.

"Heh! Sembarangan ngatain orangtua bawel. Kamu mau Tante gelundungin apa gimana?!"

Alih-alih marah, yang ada Cia cekikikan karena selanjutnya Ameera menggelitiki perut kecilnya tanpa permisi.

"Ihihihihi! Aduuuuh geli! Ihihihi!"

"Nah, bagus. Gitu dong nggak nangis lagi!" Ameer meringis tanpa dosa. "Cia mau ikut Tante makan yang enak-enak nggak?"

"MAU!"

"Pak, Cia boleh makan es krim nggak?" kali ini Ameera bertanya pada Tama.

"Boleh kok." Tama mengangguk seraya mengusap dahinya yang berkeringat. Syukurlah, ternyata Ameera nggak bodoh-bodoh amat menghadapi bocil berumur dua setengah tahun ini.

Meer, Mau Ya Jadi Mamanya Cia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang