BAB 3: KUTUKAN

7 1 1
                                    

Tama hanya bisa menahan tawa, gara-gara keisengannya perkara memberi posisi Ameer jadi Kang Gosok WC toilet kantor, setelahnya Tristan memberi kabar bahwa tuh cewek setuju.

Padahal, awalnya pikir Tama bisa saja menempatkan Ameer sebagai sekretaris atau asisten pribadi untuk sementara waktu. Mengingat Selly, si sekretaris Tama yang lumayan sat set dalam pekerjaannya itu, dua hari lalu baru saja mengambil cuti melahirkan. Cuman, menurut Tama rasanya kok kurang etis ya, misal ujug-ujug ngasih posisi jabatan yahut semudah itu.

Maunya Tama tuh sekalian nge-tes si Ameer. Kira-kira dia bakalan protes nggak? 'Kan orang cerdas, biasanya kritis!

Dan hari ini, Tama seketika dibuat kaget dengan penampilan Ameer yang cukup ... seksi. Seragamnya press body. Sungguh mengundang para lelaki mata keranjang untuk berpikir yang iya-iya. Membuat Tama nggak pakai mikir ulang, segera melipir ke mobil untuk sekadar melepas kausnya sendiri, lalu kembali menutup tubuh topless-nya hanya menggunakan kemeja. Aslinya nggak biasa Tama pakai baju tanpa dobelan kaus kayak gini, karena dari kecil tuh cowok punya satu kelemahan; mudah alergi terhadap suhu dingin.

"Demi perempuan itu aman. Bahaya kalau ada sesama pegawai yang sampai lecehin dia," desis Tama, kala itu.

Namun, niat hati ingin peduli, tapi yang dia dapat malah sebaliknya; perasaan jengkel karena sikap Ameera yang cenderung ... kekanakan dan cukup kurang ajar sebagai seorang bawahan.

"Jadi ... siapa dia sebenarnya?" cicit Tama penasaran. Setelah kejadian menyebalkan itu berlalu.

Semakin yakin jika Ameer benar-benar bukan berasal dari kaum rakyat jelata. Mau nanya-nanya ke Tristan tentang Ameera, tapi kok males banget. Kesannya, Tama jadi ngerasa dirinya terlalu kepo dengan urusan orang lain.

***

Ameera menghirup udara sekitar dalam-dalam. Nggak nyangka, menjabat menjadi Kang Gosok WC dadakan, ternyata tidak membuat dirinya kesulitan sama sekali. Meski merasa pegal tiap pulang kerja, tapi setelah beberapa minggu berjalan semua rasa yang mengganggu tergantikan dengan tubuh yang semakin terbiasa.

Dan gara-gara keseringan ngegosok WC, Ameer juga mulai mendapati lengannya agak berubah bentuk. Nggak letoy bin melehoy, jadi agak berotot sedikit. Jadi Kang Gosok WC, bagi dia berasa kayak ngegym gratis.

"Mana si Pak Bos juga jarang nongol. Kalo gini caranya 'kan hidup gue aman, tentram, jaya, sentosa!" seru Ameer seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan-kiri.

Sambil ngunyah sushi dengan antusias, tuh cewek menyerngit kala Ucup mengiriminya pesan singkat melalui whatsApp.

Ucup: [Meer, gaji udah turun]

"Asek. Gercep juga kalo ngasih gaji."

Sudah menjadi perjanjian bagi semua pegawai, jika gaji turun setiap tanggal duapuluh lima. Dan usai menyelesaikan makan siangnya dengan cepat, Ameer buru-buru menemui Ucup.

"Mana Cup jatah gue?"

"Nih."

Sumringah secerah mentari pagi, Ameera meraih amplop coklat dari Ucup dan buru-buru membuka isinya. Namun sayang, mood-nya seketika ambyar ketika menghitung lembaran uang di dalamnya.

Sial. Kenapa Cuma seuprit?' batin Ameer lesu.

"Ini lo nggak habis korupsi jatah gue 'kan Cup?"

"E-Enak aja! O-Orang emang d-dapet segitu!" Ucup dari dulu memang agak gagap. Dan dari raut wajahnya, terlihat jelas kalau dia bukan pembual.

"Asem! Kok dikit amat sih."

"K-Kamu tanya a-aja ke P-Pak Tama l-langsung. G-Gaji kamu emang s-segitu k-kok."

"Hadeh. Ngajakin perang mulu sih tuh cowok. Heran."

Nggak pakai nanti-nanti, Ameer lantas mengambil langkah seribu, melesat menuju ruangan Tama.

"Ada apa kemari?"

"Pak!"

"Hmm?" Tama masih fokus dengan layar macbooknya. Sama sekali tidak mengalihkan pandangan.

"KENAPA GAJI SAYA CUMA SEGITU SIH PAK?!"

Tidak disangka-sangka, selanjutnya jawaban dari Tama ternyata adalah,

"Saya tau kamu juga difasilitasi adik saya berupa apartemen. Anggap saja biayanya diambil dari gaji kamu."

Tai kucingggg.

Tak punya nyali untuk mendebat lagi, akhirnya Ameer menunduk lesu lalu pamit pergi.

"Emang kampret tuh cowok. Sengaja bikin gue makin gerah ada di kantornya apa gimana?"

Kalau ditanya ada di mana Ameer sekarang, tuh cewek sedang ungkang-ungkang kaki di kasur apartemen. Ya, usai hengkang dari ruangan Tama, Ameer udah hilang selera buat lanjut kerja sampai sore. Peduli amat Ucup nyariin, toh kalau diaduin ke Tama, Ameer juga nggak takut.

Kali ini, Ameer memukul bantal kumelnya berkali-kali. Nggak paham deh, betapa makin bencinya ia ke Tama. Karena gimana ya, intensitas mereka ketemu di kantor sih boleh jadi memang jarang. Tapi, sekalinya ketemu selaluuu saja ada hal yang membuat Ameer kesal ke dia. Entah itu omongan Tama yang nyelekit atau perlakuannya yang kelewat sengak. Whatever it is, Ameer tetep sukses dibikin gedhek sama tuh cowok.

Menghela napas frustrasi, puyeng perkara finansial. Ameer lantas membuka aplikasi whatsApp-nya untuk yang ke sekian kali.

Sialan. Mana semua pesan dan teleponnya dari kapan hari nggak ada yang digubris sama Mimih-Pipihnya, pula. Rese banget.

"Anjir. Terus gue musti minggat sampe kapan?"

***

Genap sudah satu bulan lamanya Ameer bekerja di bawah naungan keluara Duppont. Karena berhubung si Mimih dan Pipih belum ngasih tanda-tanda jika mereka luluh, walhasil Ameer harus memohon-mohon ke Tristan buat perpanjang kontrak kerja satu bulan ke depan.

"Bener ya, Cuma sebulan? Awas kalo nambah-nambah lagi!" gerutu Tristan kala itu.

"Iyaaaa beneran! Tolong bilangin ke Pak Tama ya?"

"Iya deh. Biar gue aja yang bilang. Daripada lo sama dia baku hantam sama debat kusir lagi. Pusing gue liatnya."

Sebuah senyuman manis di wajah Ameera langsung terukir. Lagi-lagi, Tristan mau membantunya.

Sayangnya, meski tak bertemu tatap perkara negoisasi perpanjangan kerja dengan Tama, beberapa minggu setelahnya Ameer kembali dipertemukan dengan tidak sengaja. Di mana saat Ameer yang lagi siap siap mau gosok WC, eh nggak sengaja nabrak hingga mereka jatuh berjamaah guling-guling di lantai. Bersamaan dengan itu, peralatan kebersihan Ameer juga berhamburan.

Kebetulan, Tama posisinya memang lagi buru-buru, sehingga nggak lihat kanan-kiri. Menurut Ameer sih, dinilai secara objektif ... jelas dua-duanya salah.

"M-Maaf Pak. Aduh, ya Lord, nggak sengaja!" Ameera buru buru bangkit dan mengulurkan tangan. "Mau saya bantu berdiri? Astaga Pak. Suer sekewer kewer, beneran nggak sengaja. Bapak sih, buru buru amat sampai saya ditubruk segala. Tapi gimana pun juga saya minta maaf. Saya juga salah, jalan nunduk nggak lihat lihat depan."

Tama kemudian bangkit sendiri dengan cepat, mengacuhkan uluran itu. Menyadari bahwa Ameer yang menyebabkan dirinya jatuh, ia lantas keceplosan bilang,

"Kalo udah tau kamu di sini bisa kerja karena kamu adalah mantannya adik saya, harusnya bisa lah jaga sikap dan membawa diri. Nggak lihat apa gimana? Atau memang dua matamu itu udah nggak fungsi?"

DEG!

Membuat Ameera auto mangap lebar. Kaget, Cuy. Lah anjir! Kakaknya Tristan kenapa mulutnya ngeselin banget, Cok. Minta digaruk apa gimana?' batinnya.

Lalu Tama, yang seolah tidak butuh tanggapan dari Ameera, kemudian berjalan lurus memasuki lift. Membuat Ameera yang sakit hati itu, tanpa berpikir panjang lantas mendesis tajam,

"Cowok mulut dakjal kayak lo emang deserve buat ditinggalin orang yang lo sayang. Camkan itu."

Dan seolah sudah menjadi kutukan. Usai tragedi nyumpahin Tama itu, esoknya Ameera mendengar kabar jika Tama kehilangan istrinya.

***

Meer, Mau Ya Jadi Mamanya Cia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang