BAB 6: NANGIS

13 1 1
                                    


Prosesi pemakaman Farah berjalan lancar meski diiringi gerimis. Namun, sepanjang arah pulang, Tama hanya diam membisu. Tatapannya sendu, beberapa kali menghela napas berat seolah tengah memikul beban yang besar di pundak. Sikapnya yang seperti itu, jelas membuat Ameera segan untuk bertanya kapan kira-kira ia bisa kembali ke apartemen.

Sehingga, Ameer pun mutusin buat nyibukin diri sendiri bareng Cia. Mulai dari nyuapin bocil itu pakai roti isi, mengobrol hal-hal random serta menyanyi-nyanyi, hingga saat mobil memasuki area kompleks rumah, Cia yang lelah tak lagi banyak bersuara.

Bocah cilik berwajah imut itu, kini bersandar pada Ameer dan mulai mendengkur halus.

Satu hal yang Ameer sadari; tuh bocil lumayan pelor. Alias ... tempel, molor. Kalau bahasa sederhananya sih, gampang tidur dalam kondisi apapun. Dan pikir Ameer, kayaknya aman sih Cia dia tinggal setelah ini.

"Biar saya aja," ucap Tama ketika usai memarkir di garasi. Sesaat setelah membuka pintu mobil.

Menatap Ameer sekilas, tuh cowok lantas menarik tubuh Cia pelan-pelan. Niat mau menggendong dan memindahkan ke kamar. Eh nggak taunya, baru saja ditaruh ke atas kasur, Cia malah terbangun.

"Tante Ameel...."

"Lah, kok bangun?" tanya Ameer heran. Tama mundur, memberi ruang pada Ameer untuk mendekat ke kasur.

"Mama ... Mama ditanem di tanah sampai kapan, Tante?" tanya Cia kemudian. Kesadarannya masih belum sempurna, matanya aja masih meleng mengerjap-ngerjap bingung. "Dingin. Pasti Mama kedinginan...."

Waduh, kenapa jadi mellow lagi ini bocah?' cicit Ameer ketar-ketir, dalam hati.

Ditambah lagi, kini Tama menatap Ameera seolah minta penjelasan. Membuat yang ditatap salah tingkah. Astaga, ini yang punya anak siapa, yang ribet siapa, coba?

"Nggak papa. Mama baik-baik aja kok. Cia ganti baju dulu yuk, habis itu balik bobok lagi." Ameera menyugar rambut bocah cilik itu, sembari duduk di pinggir ranjang. "Mau ya?"

"Mau ... tapi ditemenin Tante Ameel."

"Iya. Ganti bajunya sama Tante, Ci. Tapi boboknya yang enggak, soalnya Tante musti pulang ke tempat Tante."

"Nggak mau. Tante Ameel bobok di cini aja."

Hah, maksudnya gue nginep gitu? Yang bener aja Cuy?! seru Ameer dalam hati.

Tama pun menghela napas frustrasi. Sorot matanya kembali melirik Ameera, tetapi kali ini dengan sorot yang berbeda; melas akut.

"Meer, malam ini aja," ucapnya. "Besok kamu boleh cuti."

"T-Tapi Pak—"

"Please. Saya murni minta tolong."

Ameer menatap Tama dengan mulut yang setengah terbuka, kemudian melirik Cia. Dua manusia itu, seperti tengah menodong Ameer agar mengiyakan. Sial. Kalau begini ceritanya, mana bisa Ameer menolak?

Setelah mendapat anggukan tidak ihklas, Tama lantas keluar dari kamar Cia. Tentu tidak lupa disempatkannya untuk melabuhkan kecup selamat malam pada pipi sang anak.

"Sleeptight, Sweetheart. Goodnight."

***

Ameer baru bisa menggerakkan tubuhnya untuk melompat keluar, kira-kira setengah jam kemudian. Di mana Cia sudah kembali terlelap dan lampu kamar sudah diubah mode redup.

Tentu saja Ameer menggantikan baju Cia dengan piyama polkadot sebelumnya. Kini, tinggal Ameer yang bingung harus melipir ke mana. Dalam kondisi masih pakai hoodie kedodoran plus celana trining hitam, dia jelas nggak bisa tidur. Remember, tadi nih baju dia pakai ngelayat ke kuburan Cuy, masa iya nggak diganti?

Meer, Mau Ya Jadi Mamanya Cia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang