"Meer, mau ya jadi Mamanya Cia?"
Sebuah pertanyaan yang kembali diajukan oleh seorang Tama Putra Duppont pada Ameera, entah sudah berapa kali dan mungkin karena saking banyaknya ... Ameer sampai nggak ngitung. Sehingga kini, sambil bersedekap malas gadis itu mau tak mau harus menanggapi secara serius.
"Biar apa, coba?"
"Ya menurut kamu biar apa?" Rese banget. Tama malah nanyain balik.
"Dih. Jangan-jangan, Bapak beneran udah jatuh cinta ya, sama saya?"
"Ge-er."
"Ya terus? Kenapa minta saya jadi istri mulu?"
"Lah orang Cia yang minta. Bukan saya."
"Ya sebagai Bapaknya Cia gimana, gitu lho! Emangnya boleh, Anda sengeyel itu?"
"Saya emang nggak cinta sama kamu, tapi normalnya saya cinta Cia, dia anak saya satu-satunya."
Memutar bola matanya sinis, Ameera lantas menghela napas lelah, karena atensinya beralih pada Felicia, alias Cia si bocah berusia dua setengah tahun yang kini berguling di rerumputan--usai tersandung boneka keropi hijau miliknya sendiri.
Mendahului Ameer, Tama melangkahkan kakinya lebar-lebar. Menyusul sang anak, kemudian mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Udah jadi kebiasaan dari bayi. Karena selain nggak mahir ngajakin anak main, Tama juga nggak pinter ngelucu.
"Lain kali hati-hati. Hayo, mau nangis? Sakit pasti, 'kan?" tanya Tama tegas, tetapi garis bibirnya mengulum senyum tipis. Menggoda Cia yang gagal menangis gara-gara Papanya yang mendatangi dirinya duluan. Dan di mata Cia, dari dulu Papahnya adalah mesin gendong otomatis ternyaman sedunia.
"Nggak! Cia emang niat pula-pula jatoh bial Papa nggak belduaan mulu sama Tante Ameel."
"Katanya pengen ngejadiin Tante Ameer Mamah barunya Cia? Terus kenapa Cia nggak suka lihat Papa deket-deket Tante Ameer?"
Ameer meringis geli. Cia memang begitu. Selain rese kayak bapaknya, tuh bocil memang keahlian aktingnya sungguh luar biasa di luar nurul.
"Cia cembulu!"
"Hah, kok cemburu sih? Aneh. 'Kan Papa Cuma punyanya Cia," kekeh Tama. Peringainya yang dingin adem-adem anyep, suka mendadak berubah hangat jika dihadapkan dengan anak semata wayangnya itu.
"Papa Ge-ellll! Olang Cia cembulu-nya ke Tante Ameel! Tulunin Pa, Cia mau main sama Tante Ameel aja!"
Ameera tertawa. Merasa menang dari Tama. Sementara itu, senyuman di wajah Tama seketika berubah kuyu. Sialan. Mau tak mau, tuh cowok akhirnya menurunkan Cia.
"Udah, biar sama saya aja, Pak. Jangan kecewa. Sans gitu lho. Nanti dia juga mau main sama Bapaknya lagi."
"Paham 'kan sekarang, kenapa saya masih ngeyel?" Tama mencegah Ameera dengan memegang sebelah tangan.
Ameer tersenyum. Menatap Tama dalam. Jangan tanya Cia ke mana, karena bocah cilik itu sekarang sibuk menggelendot manja di bawah kaki Ameer. Mainan tali sepatu, mengurainya, lalu membentuk pola tidak beraturan hingga tanpa sadar ... tali itu membentuk simpul mati.
"Paham. Paham banget, malah."
"So? How?"
Ameer menyipit. Sinar matahari sore yang menyorot halaman taman belakang kala itu, membuat tampilan cowok jangkung di hadapannya nampak seperti ... Dewa Yunani. Alias; tampan, berwibawa, disertai warna mata coklatnya yang sebelas duabelas seperti kayu.
"Barter dong. Kalau saya mau, Bapak mau kasih saya apa dulu?"
"Kenyamanan. Apapun yang kamu mau. Termasuk tiket perdamaian dengan orangtua kamu."
Ameer tersenyum kecut. Perkara dia yang masih bermusuhan dengan Papah-Mamahnya, memang jelas diketahui Tama sejak lama.
"Oke. Fine."
Tama melongo. Menatap Ameer tak percaya. Seolah ia berkata; Nggak lagi bercanda nih, Cuy?
"Tapi janji dulu ya Pak, jangan sampai jatuh cinta ke saya seenggaknya sampai Cia besar!" cetus Ameer akhirnya. Tidak ingin menggantungkan Tama lebih lama lagi.
"Wait—What?!"
"Kalau Bapak minta saya jadi Mamanya Cia, fine. Oke. Saya turuti." Ameer menyugar rambut panjangnya dengan asal. "Tapi saya nggak bisa jamin kalau pernikahan kita normal kayak orang lain. Bisa jadi 'kan, suatu saat nanti saya ketemu jodoh saya betulan, selain Bapak?"
"Oke." Tama menyanggupi, nggak pakai tapi-tapian. Malas ambil pusing buat ngedebat. "Lagipula, sesuai dengan ucapan saya yang sudah-sudah. Selama saya hidup hingga sekarang, perempuan yang saya cintai selain Mamah kandung saya, ya Cuma dua."
Ameer diam. Tidak menanggapi. Sementara Tama meneruskan kalimatnya yang tertunda,
"...Cia, serta Farah, wanita yang melahirkan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meer, Mau Ya Jadi Mamanya Cia?
RomansaAmeera (30 th) yang minggat dari rumah usai debat kusir perkara masa depan dengan kedua orangtuanya, tidak menyangka bahwa hidupnya menjadi tidak sama lagi semenjak bertemu dengan Tama Putra Duppont (37 th), sang Kakak sulung dari mantan kekasihnya...