8/ Gosip

37 5 0
                                    

Tak butuh waktu lama, gosip kedekatan antara Ge dan Shanaz menyebar. Rupanya gosip itu terdengar oleh semua orang di jurusan, kecuali yang bersangkutan. Atau ya, mereka tidak tahu malu saja.

Gosip itu juga terdengar sampai telinga Ayana, Shafira, Tita, dan Nia. Di kostan Shafira, Oni dan teman-temannya itu lantas membahas gosip tersebut.

"Eh, denger-denger Shanaz selingkuh ya sama Ge?" tanya Nia memulai obrolan.

"Eh iya! Aku denger itu juga!" Ayana merespon. Mereka semua kemudian berbarengan menatap pada Oni yang tengah asyik mengamati bunga di vas Shafira. Bunga hadiah dari teman lombanya yang ia kenal sewaktu lomba di Bali semester lalu, katanya.

"Apa?" tanya Oni sambil menatap balik.

"Are you okay?" tanya Nia.

"Oke oke aja. Kenapa aku harus nggak oke?" jawab Oni sambil terkekeh getir.

Tentu saja dia berbohong. Akhir-akhir ini dia sering sekali melihat kedekatan Shanaz dan Ge, bahkan mungkin lebih sering dan banyak dari yang teman-temannya tahu. Ge dan Shanaz seperti sudah menganggapnya sebagai teman dekat sendiri, sehingga ia sering diajak bergabung. Entah saat berkelompok, entah hanya untuk mengobrol. Dan tiap kali mereka bertiga, Oni selalu merasa menjadi orang bodoh dan obat nyamuk di antara mereka.

"Beneran?" tanya Tita.

"Ya, gimana ya? Emangnya aku punya hak apa buat ngerasa gak baik-baik aja? Kan aku bukan siapa-siapanya Ge juga."

"Ya emangnya harus punya hak buat ngerasa sedih? Kalau sedih ya sedih aja. Kamu patah hati lihat Ge ya patah hati aja," kata Nia. Oni menghembuskan nafasnya berat. Kini ia mulai meruntuhkan dinding-dinding yang dibuatnya agar ia terlihat baik-baik saja.

"Ya emang sakit sih," ujarnya. "Mana akhir-akhir ini tuh Ge sama Shanaz mesti ngajakin aku bareng. Jadinya ngelihat mereka berduaan mulu."

"Ya ampun, Ni. Ya jangan mau dong kalau kamu nggak nyaman," kata Ayana.

"Eh iya. Ge sama Shanaz akhir-akhir ini ajakin Oni terus. Kenapa, ya?" Shafira menambahi.

"Ya gak apa-apa. Kebetulan aja kali? Emang sering ngobrol-ngobrol aja."

"Sumpah kalau bikin sakit hati gak usah diiyain, Ni. Tolong," perintah Shafira.

"Eh, btw. Tapi terus Reza gimana kalau Shanaz sama Ge?" tanya Oni mengalihkan topik.

"Makanya itu. Kasihan banget. Mana Reza bucin. Kasihan updatean IG-nya galau terus," kata Nia.

"Kalau gak salah Rezanya masih usaha deketin, ngajak ngobrol, sama datengin kosnya Shanaz gak sih? Coba perbaiki hubungan mereka. Tapi Shanaz-nya udah gak mau. Cuekin terus," sahut Ayana.

Shafira menanggapi."Iya anjir. Kasihan banget Reza. Dia udah denger juga gosip kalau Shanaz deket sama Ge. Dia pernah datangin aku nanya, 'Shanaz baik-baik aja kan ya? Dia udah gak mau ngobrol lagi sama aku. Denger-denger dia udah nemu cowok lain, ya? Lebih baik kah cowoknya? Lebih cakep kah? Dia bahagia nggak, Shaf? Kalau dia emang lebih bahagia, jauh lebih bahagia ketimbang sama aku, just let me know. Aku nggak apa asal dia emang bahagia' gitu. Bingung aku gimana jawabnya."

"Aaahh..." cerita Shafira ditanggapi keempat temannya dengan rengek kasihan. Semua orang tahu seberapa peduli dan cinta Reza dengan Shanaz.

"Kasihan anjir. Padahal Reza udahlah cakep, tulus, bucin gitu. Masih aja ditinggal," ujar Nia.

"Gak tahulah. Emang gak pernah ada yang paham sama hati manusia..." kata Shafira.

***

Siang itu, jam istirahat. Kelas Oni sedang menunggu di luar karena kelas yang akan mereka masuki masih dipakai jurusan lain. Sambil menunggu, Oni, Ayana, Shafira, Tita, dan Nia mengerjakan tugas mereka di gazebo. Anak-anak lainnya pergi membeli jajanan. Beberapa orang anak lelaki di kelasnya, termasuk Ge dan Argha, ada di gazebo sebelah tempat di mana Oni dan teman-temannya berada.

Rupanya, bukan kelas mereka saja yang tengah terlantar. Kelas sebelah, tepatnya kelas Reza, baru saja selesai dari kelasnya dan hendak pindah ke kelas baru, namun kelas mereka masih dipakai. Para anak laki-laki berpapasan dan menyapa akrab seperti biasanya. Mata Oni dan kawan-kawannya dengan otomatis mengamati interaksi Ge dan Reza. Mereka nampak canggung, tidak akrab seperti biasanya. Padahal, Reza dan Ge seringkali paling klop kalau sudah bertemu. Biasanya mereka akan membahas soal basket. Maklum, keduanya pernah sama-sama jadi kapten basket di sekolah masing-masing.

Ge dan kawan-kawannya duduk di gazebo, sementara Reza dan teman-teman sekelasnya duduk di pinggiran jalan. Mereka asyik mengobrol sendiri-sendiri. Tak lama, Shanaz datang bersama temannya, Sabil. Mereka datang menuju tempat Ge berada.

Teman-teman Reza maupun para lelaki dari kelas Oni yang mengetahui Shanaz datang, sontak menggodai lelaki itu.

"Ciyeee... Itu lho, Za. Shanaz, Za."

"Za, Shanaz, Za."

"Pacarmu itu lho, kok nggak disapa sih?"

Shanaz nampak cuek. Sementara Reza menatap gadis itu dengan tatapannya seperti biasa. Tatapan penuh jatuh cinta yang pasrah, sambil tersenyum tipis.

"Sayang, entar habis kuliah pulang sama aku, yuk?" ujarnya.

"CIYEEEEE.... Waduhhh sayang-sayangan!" para gerombolan lelaki itu nampak heboh dan sumringah. Lebih sumringah ketimbang si dua sejoli itu. Mereka bersemangat sekali menggodai Reza dan Shanaz. Kecuali satu orang: Ge.

Oni dapat melihat lelaki itu ekspresinya datar dan muram. Ekspresi dan suasana yang sangat jarang sekali muncul untuk orang sepositif dan sehangat Ge. Ia menyulut rokoknya, dan mengalihkan pandangannya ke kejauhan. Oni tahu, lelaki itu sedang cemburu.

"Nggak usah. Aku pulang sendiri aja," jawab Shanaz.

Gerombolan lelaki itu kini mendesah kecewa. "Yaaaahhh kok gak mauuu."

"Loh, ayo. Gak apa. Aku bawa motor lho hari ini. Kalau mau jalan-jalan juga gak apa."

"Enggak, Zaa. Aku sendirian aja."

"Oh, yaudah. Titip pacarku ya, guys."

"Dih bucin!" seru teman-teman sekelas Oni. Kemudian, Oni dapat melihat Shanaz mendekat pada Ge. Dalam sudut yang mungkin tak dilihat para gerombolan lelaki itu, namun cukup jelas dari tempat Oni dan teman-temannya berada, tangan Shanaz meraih lengan Ge, menggandengnya. Tangan itu disambut Ge. Mereka bergandengan sejenak, sambil bertatapan dan bertukar senyum, seolah menegaskan semua akan baik-baik saja. Lantas mereka kembali berperilaku seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ni, gak usah lihat!" seru Nia.

"Iya nih. Malah dilihatin!" protes Tita.

Oni baru mengalihkan tatapannya dari pemandangan itu dan kembali fokus ke teman-temannya.

"Oh, ternyata ya emang bener, ya," kali ini Shafira mengambil kesimpulan. Mereka berlima bertatapan. Dengan bahasa mata, mereka sama-sama mengiyakan apa yang mereka baru saja saksikan.

Just Another Heartbreak [Unedited]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang