17/ Tentang Melepaskan

53 3 0
                                    

Tentu, ini bukan kali pertama bagi Oni merasakan patah hati. Sebelum-sebelumnya, sejak jatuh cinta pertama kali saat SMP, dia sudah berulang kali menerima bahwa orang yang dicintainya tidak akan mencintainya kembali.

Saat SMP, cowok yang disukainya merasa jijik dia sukai karena dia tidak cantik, lantas beralih berpacaran dengan teman dekatnya. Saat SMA, ketua OSIS yang dia taksir sampai membuatnya rela masuk organisasi itu tidak pernah menyadari keberadaannya dan pada akhirnya berpacaran dengan gadis paling cantik di sekolah. Lalu saat kuliah, seperti ini.

Ini bukan kali pertama Oni patah hati. Dan perihal patah hati, tak pernah ada orang yang benar-benar ahli meski sudah mengalaminya berkali-kali. Tapi Oni jadi semakin mengerti, bahwa orang sepertinya tak pernah bisa menjadi pilihan. Ia tak pernah cukup punya binar yang membuat orang melihatnya, lantas memilihnya. Ia tahu ia barangkali terlalu sukar untuk dipilih dan tidak akan membuat orang bersedia untuk tinggal. Namun ia juga tahu, ia selalu berusaha menjadi orang yang baik tiap harinya, dan jikalau pun seluruh dunia tak pernah memilihnya, ia akan memilih dirinya sendiri. Karena lagi-lagi, apa yang bisa diperbuatnya?

Maka, setelah berhari-hari dan bermalam-malam menangis dan bersedih, sambil terus mengerjakan progress TA-nya, Oni mulai menerima. Menerima bahwa lelaki yang ia sukai sudah milik Shanaz. Menerima bahwa ia tidak akan pernah jadi orang yang tampak dan dipilih oleh Ge.

Bahwa lagi-lagi, dia tidak akan pernah menjadi pilihan.

Pagi itu, ia datang pukul delapan pagi ke gedung jurusannya untuk konsultasi TA bersama Pak Haryo. Alih-alih takut harus berhadapan dengan dosen killer satu itu, ia justru lebih takut harus berpapasan dengan Ge dan Shanaz nantinya. Kedua orang itu untungnya anak bimbingan Pak Setyo, dan harusnya –seharusnya—mereka tidak perlu berpapasan. Tapi perasaannya masih was-was. Entah apa reaksi hatinya melihat mereka.

Dunia mungkin sedang baik hati saat ini. Tak ada Ge maupun Shanaz. Tak ada siapapun bahkan di kursi ruang tunggu dekat ruang staff. Oni diam-diam merasa lega.

"Loh, Oni. Bimbingan juga?"

Sebuah suara menyapanya ketika ia sibuk merapikan lembar-lembar draft dan mencari lembar konsultasi bimbingannya. Ia menoleh dan menemukan Reza di sana.

Reza anak bimbingan Pak Setyo... Apa jangan-jangan... Gawat!

"Hehe, iya."

"Sendirian, Ni?"

"Iya, sendirian."

"Wah, sama kalau gitu," ujar Reza. Oni bernafas lega mengetahui ia tak harus melihat orang yang tak ingin ia lihat hari ini. Kemudian Reza melanjutkan, "Biasanya harusnya sama Ge sama Shanaz, tapi aku bimbingan sendirian hari ini," ujarnya sambil duduk di deret kursi yang sama dengan Oni, berjarak satu kursi kosong jauhnya.

Mendengar Reza berkata 'Ge dan Shanaz', Oni segera merasa kasihan pada lelaki itu. Gosip sudah semakin menyebar. Semua kini tahu Ge berpacaran dengan Shanaz.

Mungkin merasa Oni menatapnya dengan iba, Reza melirik dan mengelak. "Kenapa? Ah, gak apa. Aku nggak semenyedihkan yang digosipin orang-orang, kok!" ujarnya sambil mengibaskan tangannya.

"Sorry," ujar Oni canggung.

"Gak apa," Reza menjeda kalimatnya. "Ya namanya hubungan, mungkin waktuku sama dia udah habis aja."

Oni menatap Reza lagi untuk kedua kalinya. "Aku gak tahu sih rasanya kalau jadi kamu. Harus satu bimbingan sama... mereka."

Reza tertawa. "Ya namanya TA ya harus profesional lah. Masa aku nggak bimbingan?"

"I do feel sorry for what happened."

"Gak apa, Ni. Udah berulang-ulang aku denger itu dari orang-orang, turut berduka buat apa yang aku alami. Tapi aku ngerasa aku nggak semiris itu, kok."

"Kamu santai banget, ya kayaknya."

"Ya, mau gimana lagi? Sedihnya sih udah lewat, Ni. Mungkin emang aku sama dia nggak cocok aja. What meant for you will come for you, dan mungkin bukan dia aja orangnya. Yaudah, lepas. Nggak ada hal lain kan yang bisa aku lakukan?"

Oni mengangguk. Mau apa lagi? Menahan-nahan orang yang hatinya sudah tidak ada pada kita juga bukan pilihan yang tepat.

"Eh, Pak Setyo nge-chat aku suruh masuk ke ruang staff. Dospem kamu udah dateng kah? Nggak masuk juga?" ujar Reza kemudian sambil mengecek ponselnya.

Oni menggeleng. "Dosenku Pak Haryo. Ada rapat dadakan tadi katanya, jadi aku suruh nunggu. Makanya aku duduk sini."

Reza nampak takjub. "Wuish! Pak Haryo dospemmu? Edan. Good luck, ya."

Oni tertawa. "Thank you."

Reza kemudian pergi meninggalkannya untuk masuk ke ruang staff. Diam-diam Oni merenung, kurang apa Reza itu. Padahal dia baik, terlihat tulus, dan tampan. Tapi masih ditinggalkan juga. Hati orang memang tidak ada yang tahu.

Tak lama, Pak Haryo tiba-tiba datang.

"Oni, are you ready for the consultation now? Let's go to staff room," ujar beliau datar, tanpa sungguh-sungguh memperhatikan Oni, dan segera masuk ke ruangan staff. Oni mengekori.

***

Mungkin memakan waktu selama kurang lebih satu jam, sampai akhirnya jadwal bimbingan Oni selesai. Rupanya doanya tak sepenuhnya terkabul, karena begitu keluar ruangan staff, ia berpapasan dengan Ge dan Shanaz yang rupanya akan berkonsultasi dengan Pak Setyo. Oni hanya tersenyum singkat pada mereka sebelum akhirnya keluar dan meninggalkan gedung jurusannya.

Seperti yang ia duga, hatinya masih terasa dicubit-cubit. Entah karena itu, atau karena bimbingannya barusan, ia merasa haus. Maka ia pergi ke minimarket terdekat dari kampusnya untuk membeli air minum.

Minimarket sedang memutar lagu MalamSepi-nya Yura Yunita, saat Oni sibuk memilih minuman apa yang akan ia ambil dari kulkas. Sambil berpikir, ia juga merenungi ucapan Reza yang tadi ia katakan padanya.

What meant for you will come to you.Ya mungkin bukan dia aja orangnya.

Lalu tiba-tiba ucapan Ge dulu muncul juga di kepalanya. What meant for you will always find its way to you. Lantas ke kutipan 'The Alchemist' yang dikutip Ge. And when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.

Mungkin, mungkin ya, kali ini semesta lagi-lagi berseberangan dengannya karena Ge bukan orangnya. Mungkin Ge tak pernah ada dalam daftar hal-hal yang tercipta untuknya. Dan apalagi yang bisa ia perbuat? Hanya merelakan.

'Aku harus bagaimana

Tak ingin berpisah namun hatiku berkata sudah

Aku memang butuh dia

Namun diriku bukan untuknya'

Oni melirik speaker minimarket yeng menyenandungkan lagu tersebut. Ah, kebetulan sekali. Kenapa mendadak speaker minimarket seperti bisa mengerti hatinya begini, sih?

Just Another Heartbreak [Unedited]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang