Zoe Sachi melepaskan genggaman tangannya ketika ia sampai di area yang tidak jauh dari Stasiun Shinjuku. Kehangatan yang sempat menyebar dan memenuhinya berangsur lenyap saat sentuhan itu terputus.
Mengabaikan seraut wajah heran yang menguasai Hiro, gadis itu masih mempertahankan senyumnya. "Di sinilah, aku ingin kau ke mari." Lantangnya tanpa berniat menurunkan sedikit level semangat dalam dirinya.
"Stasiun Shinjuku?" Laki-laki itu mendaratkan pandangan pada pintu masuk stasiun.
Apa Sachi akan memintanya pergi bersama ke suatu tempat? Itu 'kan alasan satu-satunya berada di stasiun. Memangnya ada alasan lain yang lebih masuk akal?
Gelengan tegas itu lepas bersamaan dengan tangannya yang ia tempatkan pada dagu Hiro tanpa ragu sedikit pun. Lalu mengarahkan wajah terperangah yang diakibatkan tindakan berani Zoe Sachi ke arah lain. Memang sepertinya ada yang salah dengan kepala gadis itu hari ini, sehingga tindakan-tindakan berani yang tidak pernah Hiro duga terus dilayangkan untuknya.
"Itu yang kumaksud."
Seharusnya ia menghindar jika merasa keberatan atas tindakan sepihak gadis itu, tapi rupanya kejujuran hatinya sama sekali tidak menolak.
Kerumunan tidak jauh dari mereka menjadi sesuatu yang dimaksud gadis itu. "Mari kita mendekat," ajaknya antusias.
Lagi-lagi ia kembali tidak berkutik dan tak mampu menolak. Lalu berderap mengikuti Zoe Sachi, dengan isi kepala yang mengacu pada pertanyaan besar seperti, mengapa ia rela membiarkan dirinya dikendalikan oleh Zoe Sachi, Ya Tuhan ....
"Hiro-kun, bukankah tindakan laki-laki itu cukup keren?" Suara gadis di tengah dengung tinggi hiruk pikuk kota Tokyo memecah fokusnya.
Hiro mengernyit, setelah beberapa detik ia berusaha memusatkan perhatian ke sebuah kerumunan yang tidak nampak spesial-spesialnya. Ia tidak menemukan apa pun yang menarik.
"Aku sama sekali tidak mengerti," tandas Hiro datar.
"Oh, baik. Aku akan menjelaskan," sela Zoe Sachi. "Kau lihat nenek itu, dia sedang ditindas secara tidak langaung oleh seseorang. Tapi tiba-tiba seorang pahlawan muncul sambil mengucapkan Undang-undang yang sama sekali tidak kumengerti untuk membela nenek tidak berdaya itu."
"Dia sepertinya seorang pengacara," sergah Hiro. Sachi sudah menduga jika otak pintar Hiro pasti akan dengan mudah memahami.
Zoe Sachi mengangguk dipenuhi semangat yang belum berniat mereda, sementara sepasang mata amber itu melayangkan kilau berbinar kepadanya. "Di masa depan aku bisa membayangkan kau memiliki profesi itu. Membela yang lemah di pengadilan dengan sebuah setelan rapi," tutur Zoe Sahi dengan nada seolah sedang bermimpi.
Dengusan pelan ke luar dari rongga hidung Hiro. "Apa yang kau bicarakan? Dasar aneh!"
Sebelah tangan Sachi pun melayang cepat ke lengan Hiro, seolah berniat memberikan kesadaran pada laki-laki yang memasang wajah meremehkan itu.
"Aduh!" desis Hiro. Tapi Zoe Sachi hanya menatap Hiro tanpa rasa bersalah, seakan Hiro memang pantas mendapatkan itu. Saat itu, Hiro tahu apa yang selalu dirasakan Sotha. Pukulan dari tangan kecil itu cukup bertenaga, menimbalkan efek panas yang tidak nyaman.
"Aku serius Hiro-kun," lontar Sachi penuh penekanan, mengikuti Hiro yang telah kembali berjalan ke arah pulang. "Kau dibayanganku sangat sempurna dengan profesi itu."
Masih menggunakan tampang meremehkan yang cukup menyebalkan, laki-laki itu kembali menoleh pada Zoe Sachi. "Tapi di kenyataan akan sangat berbeda, bukan?"
Desakan keras ingin menyiram hidung laki-laki menyebalkan itu dengan sekaleng air timbul ke permukaan. "Aku tidak peduli. Mengapa aku tidak boleh bermimpi bahwa kau kelak bisa menjadi seorang pengacara yang selalu memenangkan persidangan, dan mampu menegakkan kebenaran," bantah Zoe Sachi dengan segenap keberanian.
Hiro memutar bola matanya. "Nyatanya seorang pengacara juga dibayar untuk membela yang bersalah," desisnya sambil melanjutkan langkah kaki yang sempat tertunda.
"Apa? Mengapa bisa begitu?"
Dengan tampang mengejek ia mencoba menjelaskan secuil informasi yang ia ketahui demi menyadarkan seorang gadis yang memiliki angan-angan menjulang sampai ke langit-langit, dan mengabaikan fakta sesungguhnya.
"Kau tahu Zoe Sachi. Dunia sangat kejam. Yang memiliki uang akan lebih berkuasa. Mereka dapat menggunakan uang mereka untuk memutarbalikkan fakta," jawab Hiro, jeda sejenak sambil menatap Sachi lekat-lekat. "Di mana yang bersalah bisa jadi tak bersalah, lalu yang benar bisa menjadi bersalah."
Seolah mimpi-mimpinya dibenturkan pada sebuah kenyataan pahit di muka bumi ini. Angannya menguap perlahan, tapi sedetik kemudian ia berusaha mencengkeram erat impian itu supaya tidak terhempas oleh pesimis. "Tapi aku tahu. Jika kau menjadi pengacara di masa depan. Kau pasti akan membela orang yang benar-benar berada di sisi kebenaran." Ulasan sneyum hangat kembali nampak. "Karena aku tahu hatimu cukup lembut."
Sesuatu yang cukup aneh namun tidak asing kembali menjalari tiap tetes aliran darahnya. Tercengang sesaat, ia berusaha menemukan balasan pada otaknya yang mendadak kosong. Dan tanpa ia sadari, debaran yang menghentak dada kembali hadir.
Meskipun begitu ia berusaha untuk tak tenggelam dalam emosional itu. "Kau salah! Aku tidak seperti itu."
"Benarkah?" desisnya, dan sama sekali tidak tersinggung. "Tak masalah, jika pemikiranmu untuk saat ini seperti itu."
Kesulitan mendapatkan kata-kata untuk menjawab, ia kembali terdiam. Sementara sebagian dirinya berusaha meredakan jantungnya yang sangat berisik, dan sedikit kehawatiran timbul, bagaimana jika telinga gadis itu mampu menangkap debaran liar di jantungnya.
Hening sejenak, sama sekali tidak ada suara selain langkah kaki mereka, selain suara bising yang menyelimuti tanpa jeda.
Gadis itu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. "Hiro-kun, boleh aku meminta nomor Akira-kun. Aku ingin menanyakan kabarnya?"
Kerutan di dahi Hiro tergelar cukup dalam. Mengapa tiba-tiba? Atas dasar apa dia meminta nomor Akira?
Sulit dipercaya, gadis itu baru saja bersikap sangat manis dan membuat apa yang ada di dalam diri Hiro nyaris terbang ke awan, dan tiba-tiba saja menanyakan tentang laki-laki lain?
"Untuk apa?" Sungguh sulit sekali mengontrol pertanyaan ketusnya.
"Aku mengkhawatirkannya."
Satu dengusan keras tidak mampu ia hindarkan, lalu sebelah tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya kesal.
"Kau tau, malam ini kita harus kembali belajar seperti semalam?" cetusnya tanpa ingin membahas Akira, "Kau sudah menghapalkan rumus matematika yang kuminta kemarin?"
Alis yang semula sedang terangkat kini menjadi berkerut. Ada apa dengannya? Mengapa harus membahas rumus matematika di saat-saat seperti ini?
Sikap laki-laki itu sukses membuat wajahnya cemberut. Dan asal Hiro tau, Zoe Sachi benci matematika, sangat benci! Setiap memikirkan rumus-rumus itu rasanya kepalanya memanas seolah hendak terbakar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light Start at 18yo ✔️
RomansaGadis itu berbeda, dia penuh semangat, bersinar, dan mencuri perhatiannya. Tapi ternyata takdir berkata lain. Sesuatu yang tidak logis bagi otak pintarnya membuat Ryuichi Hiro dan Zoe Sachi bersaudara. Tapi, saat tinggal dalam satu rumah dan menja...