chapter 1 : foto keluarga

77 8 8
                                    

15 tahun kemudian

"Si anjir lama banget kembar lelet." bisik Karaka, sudah hampir 20 menit dia menunggu si kembar untuk bersiap namun mereka tidak kunjung selesai, "WOY KEMBAR TULUL CEPET KESINI!! GAK ADA GERAKAN LAMBAT-LAMBAT!" Akhirnya pecah sudah kelenjar emosi Karaka.

Namun, bukan seperti yang di harapkan justru semua ini menjadi lebih rumit.

"SABAR WOI! susah pakai bajunya lagian ngapain si beli baju kekecilan!" Sahut seorang pemuda dari dalam kamar, tak kalah emosi.

"Ya udah sih wir pakai aja, ribet amat lo kayak betina." Balas pemuda lainnya yang berada di dalam kamar.

"Bacot lu!"

Mereka lah dua bayi itu, Karaka memberi nama Genta Purnama dan Joo Purnama. Karaka bukan sengaja memberi nama mareka menggunakan nama belakangnya, dia hanya malas memikirkan nama yang lain, yang penting bisa di panggil pakai nama. Dan walaupun bukan anak kandungnya, tabiat kedua pemuda yang berusia 15 tahun itu amat mirip dengan Karaka.

Setelah menunggu selama 30 menit akhirnya yang Karaka tunggu-tunggu muncul juga, "lemot banget si kalian berdua!"

Kembar itu keluar dari kamar bersamaan dengan memakai baju yang kompak, mereka bertiga betulan seperti keluarga. Namun, setelah kembar itu keluar kamar ternyata...

"JOO GOBLOK! LO UDAH IDUP LIMA BELAS TAHUN TAPI KAGAK BISA PAKAI BAJU HA!? ITU JUGA SEMPAKNYA KELIHATAN!!" Pecahnya kelenjar emosi Karaka part selanjutnya.

Joo yang tidak terima di katai demikian, lantas membalas. "BACOT DAH! BUKANNYA DI BANTUIN JUGA JANGAN NGOMEL DOANG DONG!"

Dengan segala emosi yang meluap dan rasa sabar yang sudah menipis Karaka mendekati Joo, menarik kerah bajunya, mengancingkan kembali baju tersebut dengan benar serta membantu memasangkan dasi di leher putra angkatnya itu.

Joo hanya pasrah dengan apa yang tengah bapak angkatnya lakukan itu, ketimbang membantu membenarkan sebenarnya Joo merasa bapaknya ini sedang mengajak gelut dirinya. Karaka yang nampak biasa-biasa saja sejujurnya merasakan sebuah kebahagiaan yang begitu besar di lubuk hatinya, biasanya rasa itu tidak dapat dia ekspresi kan dan ungkapkan secara langsung, karena begitulah karakter nya. Namun, kali ini dia mengesampingkan hal tersebut dan berkata.

"Udah tinggi aja ya lo berdua, padahal perasaan baru kemarin-kemarin kalian masih berak di celana."

Joo diam saja, sementara Genta tersenyum mendengarnya dan berkata. "Iya pak, kami sudah lima belas tahun. Tinggi kami sebentar lagi melebihi bapak, tapi Joo masih pendek pak, burungnya juga buntet."

"Anjing lu! Gak usah sok dewasa deh." Joo melayangkan tatapan sinis pada Genta, sementara Genta dan Karaka tertawa puas setelah meledek Joo. "Gue bisa buktiin nanti kalau gue bisa lebih tinggi dari lo pada."

"Mimpi aja dulu Joo, lo aja pemalas." sindir Genta lagi.

Sebelum keduanya babak belur lantaran bertengkar Karaka dengan segera menengahi. "Udah, dah telat nih." Karaka berjalan duluan keluar dari rumah.

Raut Genta tiba-tiba berubah, dia seperti merasakan sesuatu yang berbeda. "Joo, sadar gak sih lo kalau suara bapak lama-lama semakin kecil, kayak udah gak ada tenaga." Genta menyuarakan pemikiran nya itu.

"Lo idup gak usah tolol amat deh Gen, bapak itu dah aki-aki wajar aja kalau dah gitu." Joo mencoba untuk berpikir positif, walaupun sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama dengan Genta.

"Semoga lo bener deh."

"MALAH NGOBROL BURUAN WEH!!" Teriak Karaka dari luar.

"Gak jadi deh, bapak masih bisa teriak tuh." Ucap Genta pelan dan melenggang duluan meninggalkan Joo yang masih sibuk dengan penampilannya.

HIGHEST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang