Strong

1.2K 75 6
                                    

Pukulan mendarat di tubuh gadis itu, umpatan-umpatan kasar meluncur bebas dari bibir pria yang membawa balok kayu itu, terdengar juga permintaan maaf dari orang yang dipukuli.

"Maaf. Maaf. Maaf."

"Anak sialan, sudah baik aku membiarkanmu hidup, tapi kau tidak mau menuruti perintahku?" pada detik itu juga balok kayu mengenai punggung si gadis yang sudah berwarna merah.

'Gue selalu nurutin perintah Lo. Maaf, tapi kali ini aja gue nolak.'

Perempuan dengan wig panjang itu kembali meringis saat balok kayu mengenai lukanya yang masih baru. Sakit, semuanya sakit. Fisik dan hatinya sungguh sakit. Berkali-kali dia perlakukan seperti ini, tapi kenapa masih tidak terbiasa?

Dia ingin mati. Tapi nanti siapa yang menjenguk mama-nya di rumah sakit jiwa? Alasan dia hidup di dunia ini hanya untuk satu orang, Mama.

Kesadarannya semakin menipis karena darah yang terus mengalir tanpa henti. Namun dia melihat siluet wanita yang membawa besi dan memukul kepala ayahnya hingga pingsan.

"Tante.." ucapnya lirih.

Dan semuanya gelap.

***

"Shhh.." meringis, dia merasakan seluruh badannya sakit semua.

Sebuah gelas disodorkan, dia melihat ke orang yang memberinya. Itu tantenya, adik dari ibu.

Kania, wanita itu membantu si gadis duduk dan ikut memegangi gelas supaya tidak jatuh.

"Makasih," dia berucap setelah meneguk air putih.

Kania meletakkan gelas di nakas kemudian mengambil beberapa obat di kotak yang menempel pada dinding.

"Natha, apa yang terjadi? Tante ngga tau kalau perlakuan ayahmu sekeji itu," nadanya terdengar lemah, tangannya mengusap tangan kasar milik Nata.

Ayah? Natha terkekeh miris. Sudah sejak lama dia berhenti memanggil orang itu dengan sebutan ayah. 3 tahun lalu mungkin, tepatnya saat dia berusia kurang lebih 13 tahun.

"Sejak kejiwaan mama terganggu, mama sering teriak-teriak dan itu bikin dia marah," jelas Natha yang sesekali meringis saat Betadine itu mengenai lukanya.

Dulu, Natha tidak paham kenapa Armand, ayahnya selalu memarahinya, menuntutnya ini itu. Hingga saat tengah malam dia terbangun saat mendengar suara gaduh dari kamar orang tuanya.

Keduanya bertengkar tentang ekonomi yang terus di bawah, kenapa Naura, mama Natha tidak melahirkan anak laki-laki, kenapa perempuan selalu menyusahkan. Kata umpatan turut mengikuti setiap ucapan Armand.

Serta mengapa kehidupan mereka seperti ini terus menerus.

Natha tidak pernah lupa, hingga saat itu yang membayar sekolahnya adalah mamanya. Naura bekerja serabutan dari pagi hingga malam. Sedangkan Armand hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Natha bahkan tidak pernah diberi uang sepeserpun. Mungkin dari dirinya masih kecil, seluruh kebutuhannya ditanggung Naura.

Dia kira mereka bertengkar hanya saat malam itu, namun semua berlanjut hingga hari-hari berikutnya.

Belajar, meraih prestasi, membersihkan rumah, mencari uang. Hal itu sudah dilakukan namun ayahnya tidak pernah bangga. Karena bukan anak perempuan yang diinginkannya. Dia hanya menginginkan anak laki-laki.

Bagi Armand, perempuan hanyalah mesin pembuat anak yang bodoh dan memuakkan.

Setelah 2 tahun, hidup Naura berantakan, dia tak lagi memeluk Natha saat kelelahan, memberi kata-kata semangat dan harapan suatu saat nanti Armand akan berubah. Namun harapan hanyalah harapan, kenyataannya perilakunya semakin menjadi-jadi.

Hingga hari itu, dimana Armand marah besar karena sikap Naura yang seperti orang gila, hingga dia mengusir perempuan itu dari rumah.

Natha sedih, marah, kecewa, seluruh emosinya bercampur hingga dia tidak tau cara meluapkannya.

'Pilih bawa pergi perempuan gila itu ke rumah sakit jiwa dengan baik-baik atau aku yang menyeretnya secara kasar.' kalimat itu meluncur secara ringan dari mulut Armand.

Sungguh, rasanya tangan Natha gatal ingin memukul bibir pria yang berstatus ayahnya itu. Tapi apa boleh buat, ancaman yang dilontarkan Armand selalu bisa membuatnya tak berkutik.

Sejak hari itu kehidupannya semakin berubah. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Melanjutkan pendidikannya di jenjang SMA? bahkan Natha tidak memikirkan hal itu. Dia butuh uang untuk membayar tagihan rumah, Armand yang sering meminta uang untuk berfoya-foya. Serta untuk Naura agar mendapatkan perawatan yang baik di sana..

Demi uang bahkan Natha rela memotong rambutnya seperti pria agar lebih mudah mendapat pekerjaan. Lagi dan lagi, nyatanya semua yang dilakukan Natha selalu salah dan kurang.

"Sampai dia maksa Nata buat ngelayanin pria kaya yang udah berumur 50 an."

'Pantes aja dia nyuruh buat tampil secantik mungkin.' batinnya miris.

Air matanya tidak keluar, tidak ada emosi yang ditunjukkan. Hanya wajah biasa seperti orang yang tidak mempunyai masalah.

Kania mengelus rambut pendek ponakannya. Dia prihatin terhadap nasib yang dialami Natha. Kakaknya yang sangat baik itu mendapatkan suami brengsek dan sikap egoisnya berimbas pada anaknya sendiri.

Pada malam itu, Natha menceritakan seluruh keluh kesah yang ia tahan selama ini, menceritakan kisah hidupnya yang semakin rumit sejak tinggal berdua di rumah dengan ayahnya.

"Tolong, tolong bantu Natha, Tante. Ajarin Nata jadi orang yang lebih kuat."

Natha(nael)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang