Aruna menepuk nyamuk yang hinggap di lengan kanannya, lalu ia pun menepuk nyamuk yang ada di betis kirinya. Suara nyamuk terdengar dimana-mana. Salah dan dosa apa yang telah Aruna lakukan hingga dia terjebak dalam kesialan tiada akhir seperti sekarang?"Akhirnya, bambu ini berhasil gue dapatkan." Aruna mengangkat bambu yang ia dapatkan sudah payah setelah memohon kepada pengrajin bambu yang ia cari lewat google.
Aruna segera merogoh tasnya. "Pak, ini uang ganti rugi atas bambu yang saya minta." Aruna menyerahkan uang lima puluh ribu kepada bapak pengrajin itu. Si bapak tentu merasa senang di beri uang dengan nominal yang sangat lumayan.
Aruna mengecek isi dompetnya. Cukup sepertinya untuk membeli benang dan kertas sebagai bahan layangan. Gadis itu mengepalkan tangannya saat teringat ucapan tuan besar tadi pagi.
"Aruna, saya mau kamu membawa bambu utuh ke sini. Dan ajari dengan benar kepada Ken cara membuat layangan dari awal hingga akhir. Praktekkan lagu yang kamu nyanyikan untuk Ken." Nugra menatap Aruna yang masih bingung. "Saya tak suka jika ada seseorang memberikan informasi setengah-setengah kepada anak saya. Kalau pintar itu harus penuh jangan setengah."
Setelah mengucapkan kalimat yang jelas bernada perintah itu, Nugra meninggalkan Aruna yang seperti kehilangan roh. Sedetik kemudian, Aruna tersadar dan sepertinya dia sedang dipermainkan oleh pak bos. Mau protes juga mana bisa, posisinya jelas bawahan. Kasta rakyat jelata tetap salah di mata kasta para bangsawan. Hiks Aruna pengen sledingkan pak bos di rawa-rawa yang ada di kampungnya.
Aruna pun bergegas membeli kertas dan peralatan lainnya karena Rina telah mengirimkan pesan kalau tuan Ken mulai menangis karena bosan menunggu kehadiran Aruna. Aruna berdecak dalam hati, kenapa tuan muda satu itu hari ini begitu menyebalkan, biasanya juga anak itu akan bersikap sangat manis walaupun Aruna sengaja menjahilinya.
Tak sampai tiga puluh menit, akhirnya Aruna tiba di rumah besar bak istana itu. Pak Mugi melihat heran ke arah Aruna saat menbuka pintu pagar. Tangan kanan menenteng bambu sedangkan tangan kiri membawa satu kantong plastik berisi berbagai kertas warna warni.
Sebenarnya beli layangan yang udah jadi apa salahnya sih, uang pak bos melayang seratus atau dua ratus ribu juga gak akan berasa. Sebenarnya Aruna kerja apa di rumah ini?
"Kamu terlambat Aruna," ucap Nugra sambil melirik arlojinya. Kemudian tatapan matanya menuju ke arah Aruna.
"Cari bambu di kota besar kayak gini sama kayak cari jarum di tumpukan sampah pak," ucap Aruna sembari mengatur nafasnya.
"Yang benar tumpukan jerami, Aruna. Kalau memberi contoh peribahasa, gunakanlah sesuai dengan contoh awalnya jangan kamu ubah seenaknya," dumel Nugra pada Aruna. Nugra tipe laki-laki terstruktur sedangkan Aruna tipe serampangan.
"Di sini gak ada jerami pak yang ada tumpukan sampah dimana-mana." Aruna ternyata masih belum ingin menyerah.
"Pusing kepala saya berdebat dengan kamu Aruna," ujar Nugra sembari memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. "Sekarang praktekkan lagu yang kamu nyanyikan, Ken sudah menunggu."
Aruna menatap tak percaya. Duh Aruna lupa pasal kalau bos kan memang selalu benar. Dengan langkah gontai, Aruna pun segera berjalan menuju tempat bermain Ken.
"Bibi, Ken udah lama nunggu." Aruna baru saja masuk sudah di sambut dengan teriakan Ken. "Ayah bilang, bibi mau buatkan Ken layangan, mana bi?" Cecar Ken pada Aruna yang masih mengambil nafas.
"Sabar tuan muda." Aruna pun duduk di samping Ken sembari mengeluarkan benda-benda yang ia bawa tadi. "Ini namanya bambu, ini benang, ini kertas, ini gunting dan lem," ucap Aruna sambil mengangkat satu persatu benda yang tadi ia ucapkan.
Ken mengambil bambu dan memperhatikan dengan tatapan lucu. "Bibi yakin buat layangan pakai ini?" Tanya Ken tak yakin. Wajahnya menyiratkan keraguan kepada pengasuhnya itu.
Aruna menepuk jidatnya gemas. Kenapa ada anak usia tiga tahun yang kritis kayak Ken, Aruna merasa dia sedang berhadapan dengan anak usia dua belas tahun. "Iya nanti kita belajar dulu, tuan." Aruna tersenyum sembari mengambil bambu yang ada di tangan Ken.
Syukur saja saat dia kecil Aruna termasuk anak yang bandel dan pandai memanfaatkan situasi. Dulu di kampungnya banyak tanaman bambu dan dia akan membuat layangan sendiri lalu dia jual kepada anak kampung sebelah. Lumayan uangnya bisa beli es krim yang harganya cukup mahal dengan uang saku terbatas. Jadi urusan untuk membuat layang-layang mah urusan gampang bagi Aruna.
"Tuan lihat aja ya saat bibi kerja," ucap Aruna sambil membelah batang bambu itu menjadi beberapa potongan kecil.
Setelah membelah menjadi beberapa bagian, Aruna meraut bambu menjadi lebih halus dan cocok dijadikan kerangka layang-layang. Aruna berati bisa lahir dan tumbuh besar di kampung jadi dia hapal dan khatam buat hal beginian. Setelah selesai membuat kerangka, Aruna mulai membentang kertas dan merentangkan di kerangka layangan tadi.
"Bentar lagi selesai tuan," ucap Aruna senang. Ken yang menatap hasil layangan buatan Aruna tertawa bahagia. Anak usia tiga tahun itu sungguh senang.
"Bibi, kayak pesawat," ujar Ken sembari menepuk tangan bahagia.
"Bentar lagi selesai loh, jadi entar sore kita bisa main."
Layangan yang di buat Aruna berukuran besar sesuai dengan ciri khas layangan yang ada di kampungnya. Dan Aruna meletakkan sesuatu di atas kepala layangan jadi jika diterbangkan dan tertiup angin akan mengeluarkan bunyi dengungan yang khas.
Nugra sedari tadi memperhatikan Aruna yang ternyata memang bisa membuat layangan. Diam-diam Nugra tersenyum dan penasaran apalagi keahlian Aruna selain membuat dirinya kesal. Gilang mengatakan kalau Aruna memang lahir dan besar di kampung dan jadi tak heran jika Aruna mahir melakukan hal-hal yang di anggap luar biasa oleh orang kota.
"Siap tuan." Aruna merentangkan layangan yang telah ia buat dengan wajah cerah. Ukuran layang-layang itu sangat besar kurang lebih satu meter lebih dan bentuknya seperti layangan tradisional pada biasanya.
"Bibi, kita main sekarang ya." Ken menarik baju Aruna bersemangat karena tak sabar ingin bermain.
"Eits tunggu dulu, tuan muda janji kan mau makan siang dulu. Nah kebetulan udah waktu makan siang, mari kita makan," ajak Aruna sembari meletakkan layangan buatannya di sudut ruangan
"Tapi Ken belum lapar," ujar Ken.
Aruna tertawa keras. "Dari tadi bibi dengar ternak tuan Ken bunyi-bunyi loh, yakin beluk lapar?" Aruna menjawil hidung Ken gemas. Satu hal yang Aruna garis bawahi, Ken akan melakukan apa saja jika sudah menyangkut tentang bermain. Contohnya, anak kecil ini akan mengabaikan rasa laparnya supaya cepat bermain.
"Bibi janji, nanti sore kita akan bermain. Sekarang masih siang dan angin juga gak ada." Aruna mengangkat tubuh Ken dan membawanya menuju ruang makan. "Biar bibi yang siapin, oke."
Ken cemberut. "Janji ya bibi."
Aruna mengangguk kecil dan mengecup pipi Ken gemas.
Nugra memperhatikan interaksi antara Aruna dan Ken. Aruna yang mencium pipi Ken dengan penuh kasih sayang. Dari belakang, Aruna dan Ken tampak seperti ibu dan anak yang bahagia. Nugra menggelengkan kepalanya dan merinding sendiri dengan apa yang ia pikirkan. Bisa-bisanya Nugra menginginkan Aruna menjadi ibu dari Ken.
"Tuan yakin tak tertarik pada Aruna?" Ucap ibu Cecilia yang membuat Nugra berjingkrak kaget.
"Astaghfirullah ibu, jangan kagetin saya." Nugra mengelus dadanya.
"Saya sudah di sini sekitar lima menit yang lalu," sanggah ibu Cecilia. "Aruna pintar, cantik dan unik. Cocok jadi ibu dari tuan muda Ken dan juga istri tuan."
Nugra menganga tak percaya dengan ucapan frontal kepala pelayan di rumahnya ini.
Aruna cocok jadi ibu dari Ken dan juga istri.
Nugra tertawa pelan. "Ibu mikirnya kejauhan," ucap Nugra meninggalkan ibu Cecilia yang memandang dengan tatapan iba.
"Saya yakin, Aruna dapat meluluhkan salju yang ada di hati tuan saat ini," gumam ibu Cecilia lalu dia pun segera bergabung dengan Ken dan juga Aruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
babysitter random
ChickLitAruna, dua puluh tujuh tahun. Single, pengacara alias pengangguran banyak acara. Hobi stalking instagram karena belum bisa move on dari mantan pacar. Apa jadinya jika Aruna di pemalas menjadi baby sitter dari balita bernama Ken yang super aktif? ...