Happy Reading!
•
•
•"Haruskah kita membawa polisi ke sana?"
Rafael menggeleng sebagai balasan dari usulan tersebut. "Jangan. Kita bisa menyelesaikan masalah ini secara diam-diam. Aku bisa berangkat ke sana bersama Marlo dan membawa Michael pulang. Tidak perlu melibatkan pihak berwajib."
"Tapi, Raf--"
Pria itu meraih tangan istrinya, menyela protesan wanita tersebut. "Pumpkin," ucapnya dengan nada lembut. "Para media sudah mulai mencium hilangnya putra kita. Para wartawan itu akan membuat berita yang tidak-tidak jika mereka tahu bahwa Michael menghilang. Mereka hanya akan menambah masalah kita. Belum lagi jika Dexter tahu.
"Kalau Dexter menyadari bahwa kita melibatkan polisi, dan berita hilangnya Michael mulai tersebar di media, dia bisa membawa Michael ke tempat lain dan mempersulit kita," sambung Rafael.
Sepasang mata cokelat itu meredup, pundaknya meluruh. "Oh... kau benar," lirihnya. Mia, selaku istri dari Rafael, hanya bisa mengembuskan napas pasrah. "Baiklah, jika menurutmu itu yang terbaik." Ia menganggukkan kepala. "Tidak boleh melibatkan polisi."
Rafael merengkuh tubuh istrinya, berharap itu dapat meringankan rasa cemas yang begitu memberatkan hati sang istri. "Aku akan membicarakannya dengan Marlo dan membuat rencana. Kau boleh ikut jika mau. Besok, kita akan pergi dan membawa Michael pulang. Aku berjanji."
ㅤㅤ
Alun-alun kota sudah mulai sepi ketika jam telah menyentuh pukul sembilan malam. Sebagian besar stand di festival telah tutup, namun kedua remaja yang tengah duduk bersampingan di salah satu bangku alun-alun tersebut tampak tak menunjukkan tanda jenuh akan kehadiran satu sama lain.Dengan sebelah lengan terentang di punggung bangku, Michael membiarkan Tavi menyuap sepotong churro ke mulutnya. Gadis itu lalu memakan churro terakhir mereka dan membuang bungkusnya ke tempat sampah.
"Mau pergi ke suatu tempat?" ajak Tavi.
"Ke mana?"
"Kau akan tahu." Gadis itu tersenyum. "Ayo. Kali ini, biar aku yang memboncengmu."
Michael pun berdiri. Ia tak menarik diri ketika Tavi menggenggam tangannya. Sebuah senyum terbit di wajah pemuda itu ketika ia memandang jalinan tangan mereka. Tangan gadis itu terasa hangat dan pas, seolah mereka diciptakan oleh Tuhan untuk satu sama lain.
Menahan tawa pada diri sendiri, batin pemuda itu seakan mengejek sikapnya. Dulu, sebelum mengenal Tavi dan merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, Michael akan mengejek ayahnya yang begitu bucin pada sang ibu. Namun sekarang, ia paham apa yang dirasakan sang ayah.
Jatuh cinta terasa begitu mendebarkan. Rasanya begitu menyenangkan. Terutama jika orang yang kita sukai ternyata menyimpan perasaan yang sama.
Itulah yang Michael tangkap dari sikap Tavi padanya. Gadis itu tak menarik diri ketika Michael menyiratkan rasa sukanya. Membuat pemuda itu semakin gencar untuk meluapkan perasaannya.
Jika Michael menyatakan perasaannya pada gadis itu, akankah Tavi menerimanya?
Jantung Michael berdentum di dalam dada, berharap ia tak menangkap sinyal yang salah dari sikap gadis itu padanya.
Duduk di bangku belakang sepeda kayuh milik Tavi terasa salah. Michael berpegangan pada pinggang gadis itu, dan bertanya, "Kau yakin tidak ingin membiarkanku memboncengmu? Tubuhku jauh lebih berat darimu. Kau terlihat kesusahan memboncengku."
"Tidak apa," jawab Tavi, napasnya tersengal. "Aku kuat, kok."
Itu pasti sebuah kebohongan, karena Michael dapat mendengar jelas helaan napas Tavi yang semakin lama semakin terdengar berat, menguatkan dugaan pemuda tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Of The Past [END]
Ficção Adolescente⚠️ BUDAYAKAN FOLLOW DAN TINGGALKAN VOTE SEBELUM MEMBACA ⚠️ ㅤㅤ [ BOOK TWO OF TWISTED FATE ] ㅤㅤ Semua orang menyukai Michael Davis. Ia pemuda yang ramah pada setiap orang yang ditemuinya, merupakan salah satu murid cerdas di sekolahnya, dan memiliki s...