Dua kepala yang berisik

284 17 6
                                    

-
-
-
-

Pukul empat sore, SMA Neon tampaknya sudah sepi hanya ada beberapa murid saja yang masih mendiami kelas dan lapangan, mungkin untuk kelas tambahan dan juga ektrakulikuler.

Seperti siswa dengan seragam acak kadut yang baru saja keluar dari kelasnya. Sengaja ia keluar paling akhir setelah sang ketua kelas mengabari untuk segera pergi ke ruang tata usaha. Ia tahu pasti kenapa Bu Riska---yang memanggilnya untuk ke ruang Tata usaha, makadari itu langkahnya terlihat lemas, wajahnya datar dan muram. Pemuda itu mengusap rambutnya dengan kasar. "Sial," umpatnya.

Deon hanya takut mendengar kenyataan pahit dari Bu Riska meskipun sepertinya memang iya dan Deom berusaha menguatkan dirinya begitu ia sampai di depan pintu yang bertuliskan Tata Usaha.

Sejenak menarik napas panjang sebelum akhirnya ia memutar gagang pintu dan masuk dengan sopan.

"Permisi bu..."

"Nah Deon. Sini-sini duduk dulu," kata Bu Riska sambil menggerakan tangannya menyuruh siswanya untuk duduk. Sementara Deon tersenyum lantas duduk berhadap-hadapan dengan Bu Riska.

Terlihat guru setengah baru baya itu mengeluarkan buku besar membuat Deon tahu apa yang akan di bahas selanjutnya.

"Maaf Yon ibu hanya memberitahu di buku ini tercatat sudah tiga bulan menunggak dan..." Bu Riska membalikan halaman selanjutnya. "Banyak kekurangan yang belum kamu bayar dari beberapa bulan yang lalu. Kami pihak sekolah sudah memberi kelonggaran dan berusaha bersabar mungkin kamu belum ada uang nya ya? Tapi maaf sekali, maaf ini spp mu dan bayaran lainnya harus di bayar akhir bulan ini. Kami tidak bisa memberi waktu lagi."

Sebenarnya Bu Riska juga tidak enak hati berbicara tentang topik sensitif ini apalagi menyangkut masalah ekonomi. Tapi sayang mau bagaimana lagi? Ia hanya seorang guru yang memang di tugaskan seperti ini.

Deon menautkan kedua tangannya berusaha menguatkan dirinya dan tersenyum simpul. "Kalo nggak bisa bayar gimana bu? Saya di keluarin?"

"Ibu berusaha memberikan keringanan untuk kamu jangan sampai kamu keluar dari sekolah hanya karna tidak bisa membayar spp. Itu sangat di sayangkan Deon."

"Tapi bu?"

Bu Riska mengusap bahu Deon pelan. "Masalah ini jangan sampai bikin kamu sedih dan nggak fokus belajar. Tidak perlu sampai harus di pikirkan, ibu yakin orang tua kamu akan berusaha keras untuk terus membuat kamu lulus dari sekolah ini."

"Masalahnya yang berusaha cuma bunda, bu..." batin Deon, entah kenapa tiba-tiba rasanya sesak.

"Tidak ada orang tua yang ingin anaknya putus dari sekolah, Yon. Sekarang tugasmu cuma satu, jadi anak yang baik, belajar yang rajin dan tetap semangat ya? akhir bulan juga masih lama, masih ada banyak waktu. Ibu yakin kamu bisa membayar kekurang-kekurangan lainnya."

"Nggak bisa apa Bu di gratisin aja?" tanya Deon dengan nada bercanda, ia terkekeh di akhir kalimatnya.

Bu Riska tersenyum adem. "Kalo sekolah ini punya ibu, ibu bakal gratisin buat kamu." Tepukan dari bu Riska di bahunya membuat Deon seperti mendapatkan satu kekuatan. "Semangat Deon."

Deon terkekeh kecil. "Baik bu. Terima kasih. Saya udah boleh keluar?"

"Boleh," angguk guru berhijab itu. Deon segera beranjak dari duduknya dan pamit dengan sopan.

Ia menutup pintu dengan pelan, kembali menghembuskan napas lelah. "Di pikir cari uang gampang."

Kini langkahnya terlihat lebih lemas dari sebelumnya. Deon tidak tahu harus bilang apa ke bunda, ia hanya tidak mau kembali merepotkan bundanya dan menjadi beban.

Tujuh GenggamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang