Bab 30: Pria yang Beruntung

188 12 0
                                    

Aku diseret olehnya tanpa persetujuanku ditambah lagi akulah yang harus membelikannya makanan.

"Ini." Aku meletakkan sepiring nasi goreng tom yum di depannya, lalu aku berjalan kembali ke kedai makan itu lagi.

"Ini tumis sayurnya." Lalu aku lanjut membeli minuman.

"Dan ini airnya, tidak dingin." Sebelum duduk kembali, aku menatap orang di depanku.

"Apa kau menginginkan yang lain?" aku bertanya dengan tegas. Tin menggelengkan kepalanya.

"Bagus, karena kalau mau yang lain, beli saja sendiri." Bentakku.

Siapa yang tidak kesal jika tetap dijadikan pelayan meski kontraknya sudah berakhir. Meskipun aku rela melakukannya karena aku ingat dia sudah menjadi tutorku.

Aku mengabari Po bahwa aku sedang menjalankan tugas di kantin. Po membacanya dan mengirimiku stiker naga api. Mungkin marah karena aku tidak menunggunya. Aku akan menyalahkan Tin untuk ini.

Aku menunggu sampai Tin memakan semua makanannya sehingga aku bisa pergi menemui teman-temanku untuk melihat pertandingan, tapi ternyata Tin mengikutiku.

"Kenapa kau ikut?" Tanyaku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan terus berjalan.

Sambil berjalan melewati ruang TU, mataku melirik ke arah tempat undian. Sebuah pohon dengan bintang gantung dan ember untuk menampung telur. Keserakahan dunia dengan cepat memasuki tubuhku dan ingin mencobanya. Aku menoleh ke arah Tin seolah dia tahu persis apa yang kupikirkan.

Baiklah... kalau begitu aku tidak perlu menjelaskannya. Aku buru-buru berjalan ke tempat itu.

"Halo."

"Ya." Aku tersenyum pada gadis berwajah cantik itu.

"10 baht untuk sebutir telur dan sebuah bintang." Mataku tidak melihat pohon bintang, aku hanya melihat Nong ini.

Lucunya. Apa kau punya kekasih?

Aku mengambil koin dari saku celanaku dan menyerahkannya, lalu pergi mengambil bintang dan memberikannya padanya. Nong inilah yang membuka dan membacanya.

"Jus jeruk."

Hmm... Aku melihat wajah Nong itu dan tersenyum. Aku bosan dengan jus jeruk.

Masih ada satu kesempatan untuk mengambil telurnya. Aku harap aku beruntung.

"Bisakah aku bermain lagi?" Tanyaku. Berharap ketampananku akan membuat gadis itu jatuh ke dalam perangkap dan memberiku keistimewaan khusus.

"Bisa." Dia menjawab sambil tersenyum. Cantik dan baik hati.

"10 baht."

Hah? Senyumku memudar melihat Nong cantik dan jahat itu. Segera aku merogoh sakuku dan menyadari hanya ada lima ratus bath uang kertas untuk uang camilanku selama seminggu penuh.

"Mau bermain?" Aku bertanya pada Tin yang berdiri dengan tangan menyilang.

"Ayo main." Aku tidak memohon. Aku hanya ingin sebuah barang. Tin menatapku sambil memberikan uang pada Nong tadi.

"Untuk Phi Tin, aku akan memberimu dua kesempatan."

Hah? Aku tercengang dengan apa yang aku dengar. Kenapa ini tidak adil? Bersikap jahat pada kakak kelasmu seperti ini. Aku berdiri memandangi Tin dengan rasa iri.

"Mendapat teddy bear."

Hmmm... dapat beberapa barang bagus juga. Aku ternganga padanya dan mengambil beberapa telur di ember. Nong cantik itu membukanya.

"Topi." Nong lainnya berbalik untuk memberikan sesuatu pada Tin. Lalu diberikan padaku untuk dipegang karena dia masih bermain dua kali.

"Bantal leher."

"Ikat pinggang." Aku tersentak melihat bagaimana Tim mendapatkan barang berguna semacam itu.

"Ayo selfie, Phi Tin." Pinta kedua Nong itu. Yah, lebih baik mereka tidak menyuruhku mengambil foto, atau aku harus jungkir balik untuk memegang kamera.

Aku menunggu sampai orang populer itu selesai berfoto dan segera memberikan semua barangnya. Tin berdiri menatap wajahku. Mencari sesuatu atau apa? Tiba-tiba dia mengambil topi dan menaruhnya di kepalaku hingga menutupi mataku, mengalungkan bantal leher ke leherku, memasangkan ikat pinggang di pinggangku, dan mengambil teddy bear itu.

Ai shiaa Tin! Aku mengutuk dalam hatiku. Perlahan membuka topinya dan langsung memelototinya. Tapi yang ada di hadapanku saat ini bukan hanya Tin. Ada beberapa kamera ponsel yang memotretku. Otakku mulai memberi perintah. Aku harus tersenyum dan menunjukkan sikap baik di depan umum.

Mata yang lebar karena kebencian perlahan melunak dan berubah menjadi boneka manis. Apa salahnya tersenyum pada diri sendiri? Dua jari terangkat ke wajah.

Aku keren sekali..

"Phi Tin juga."

Kau tidak akan bertahan lama, Ai Tin. Aku melihatnya mengerutkan alisnya seolah keberatan.

Hah, sudahlah.

"Dia harus menggunakan aksesoris."

Kataku sambil menoleh ke arah Nong yang mengangguk setuju. Aku memakaikan beberapa barang padanya. Dia menatapku seperti ingin membunuh, tapi aku tidak peduli dan aku tidak takut karena sekarang aku punya puluhan saksi.

"Lucu sekali, Phi Tin."

"Sangat keren."

Kau sangat tampan dengan aksesoris di wajahmu? Kau setinggi tiang telepon. Kau sangat keren.

"Ayo berfoto bersama."

Hmm? Nong yang lain datang untuk mengatur pose. Memaksaku memakai aksesoris.

"Huh!" Gumamku. Aku memamerkan gigiku dengan marah padanya.

Tin tidak membiarkanku melarikan diri dari sini.

Aku berdiri seperti patung Madame Tussauds untuk difoto para gadis. Aku memelototi Tin sampai bola mataku hampir jatuh. Dia tidak takut sama sekali, hanya mengangkat bahu dan tersenyum.

"Apa itu lucu?" Aku menaikkan suaraku. Tin menatapku dan mengangguk. Aku menatapnya dengan marah.

"Lucu sekali, ya?" Geramku sambil melepaskan aksesoris dari tubuhku dan berusaha memaksa Tin.

"Jangan nakal!" Kata Tin dengan suara tajam.

"Aku tidak nakal!" Bantahku.

"Nakal." Lalu Tin memukul kepalaku dan pergi.

Kau tidak bisa lari seperti ini, bocah! Kembali!

My School President - BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang