Bab 40: Penghiburan

189 14 0
                                    

Jika sekarang ada yang mengambil tongkat pengukur untuk mengukur diameter bola mataku, pasti akan tercatat di Guinness Book of Records karena mataku terbuka lebar hingga bola mataku hampir keluar dan sudah terpental ke tanah. Setelah mendengar perkataan itu dari mulut Tin.

"Aku akan tidur di sini malam ini."

Tentu saja aku tidak akan pernah mengizinkannya. Aku belum mengatakan apa pun. Ibuku yang baik hati datang untuk menyelamatkan Tin yang hendak dimarahi olehku. Pria itu akan tidur di sini dengan alasan kondonya baru saja dicat ulang dan masih meninggalkan bau cat.

Hah!

"Gun" Aku melihat ibu menuruni tangga dan dia berkata, "Biarkan dia tidur di kamarmu."

"Tidak." Aku tidak berpikir dua kali dan menggerutu.

"Kenapa tidak di ruang tamu?"

"Itu gudang ibu. Banyak debunya." Ibu bercanda sambil menjulurkan dagunya untuk menyadari betapa banyak debu yang ada.

Hei, aku bisa melihatnya! Aku menarik napas dalam-dalam, berdiri dari sofa dan bersiap untuk naik ke kamarku.

"Ayo, aku ingin tidur" aku tidak peduli. Aku membiarkan pintu kamar terbuka, buru-buru mengambil handuk untuk mandi. Setelah itu kulihat Tin sedang duduk membongkar tas berisi pakaiannya.

"Tidak ada handuk?" Aku memperhatikan isi tas yang dibuka, tidak ada handuk. Aku membuka lemari, mengambil handuk dan menyerahkannya. Semuanya akan baik-baik saja jika dia tidak meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Apa yang kau lakukan?" Aku tidak berteriak, bisa-bisa ibu mengira aku menyakiti anak kesayangannya. Tin masih menatapku lalu tangannya meraih puncak kepalaku.

"Terima kasih." Lalu dia menuju ke kamar mandi.

Apa dia melihat kepalaku sebagai mainan? Aku mendengus setelahnya. Aku segera pergi ke meja rias untuk mengeringkan rambutku, lalu melompat ke tempat tidur sambil bermain ponsel. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampakkan sesosok tubuh tinggi bertelanjang dada, mengenakan celana pendek dan handuk tersampir di bahunya.

Aku melihatnya sekilas, "Apa kau tidak melihat teman sekamarmu?" Kataku dengan santai, berharap pria itu memahami maksudku.

"Tidak."

Tadi kau minta ijin menginap, Ai Tin. Aku mengambil boneka dan melemparkannya ke arahnya, tapi pria itu menyadari dan segera menangkapnya. Dia melemparkannya kembali ke kepalaku.

"Sakit!"

Aku bangkit untuk berteriak pada pria itu dan menendang kakinya, tapi aku sadar aku tidak sebaik itu, jadi aku duduk diam dan bersikap seolah-olah aku belum pernah berdebat dengannya sebelumnya.

"Matikan lampunya. Aku mau tidur."

Jadi aku hanya bisa menggunakan hak kepemilikan kamarku sebagai gantinya, aku menyandarkan tubuhku ke dinding, berpura-pura tertidur, menunggu pria itu berjalan mendekat untuk mematikan lampu.

"Di mana aku tidur?" Aku pura-pura tidak mendengar.

"Kalau begitu, aku akan tidur di tempat tidur."

"Tidak!" Aku menoleh untuk melihatnya dalam cahaya redup.

"Belum tidur?"

"Siapa bilang aku tertidur?"

"Di mana aku tidur?" Tin bertanya. Kali ini dia terlihat serius.

"Di lantai." Kataku sambil mengarahkan jariku ke lantai.

"Tidak mau."

Apa aku harus menerima penolakan itu? Oh, tapi itu bukan aku. Sama sekali bukan.

My School President - BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang