Ini bukan pertama kalinya aku di sakiti laki". Ini yang ketiga kalinya!. Dan yang ini membuatku benar" hancur. Seolah semua jarapan yang telah aku bangun bersama dia, sia". Bagaimana tidak? Hubungangku selama hampir 7 tahun dengan pacarku, Hadi harus berakhir. Dia meninggal, setelah selama 2 bulan terbaring di rumah sakit karena leukimia. Aku benar" tidak mempercayai hal ini. Sakit sekali rasanya. Hati kecilku yang egois sempat berkata, lebih baik aku saja yang lebih dulu meninggalkannya, supaya aku tidak merasakan kehilangan seperti ini
Beberapa saat setelah kepergiannya, rasanya aku butuh waktu untuk menyendiri. Menjauh dari Bandung. Sejenak melupakan semua hal yang bisa mengingatkanku pada Hadi, mungkin sekitar tiga atau empat bulan. Sampai aku siap untuk nenjalani lagi hidup ku di Bandung.
Aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke suatu daerah di Subang, untuk tinggal sementara dengan nenek. Saat itu, mengasingkan diri di rumah nenek adalah pilihan terbaik. Daerahnya yang tidak terlalu ramai, sejuk, dan yang pasti bakso kalong khas daerah itu akan membantuku mengatasi rasa sedihku. Di Subang, nenek tinggal bersama bibiku, Bi Tina. Masih ada Mang Didi, tetangga nenek yang sudah sepuluh tahun membantu pekerjaan nenek.
Seminggu kemudian, sehabis shalat maghrib, aku berangkat. Aahhh.. di pikir" lama juga aku tidak ke Subang. Hampir 3 tahun. Karena setiap lebaran, pasti saja nenek yang mendatangi kami ke Bandung di antar Mang Didi.
Sekitar pukul 9 malam, aku sampai di terminal Subang. Aku pun segera memanggil tukang ojek. Memang dari terminal ke rumah nebek harus menggunakan ojek sekitar 20 menit.
Tak,lama aku sampai. Aku membayar ojek dan berjalan menuju halaman rumah nenek. Ah, halaman rumah nenek yang khas, dengan pot" kecil berisi tanaman kaktus. Jalan setapak buatan dari batu dan sebuah sumur timba. Iya, nenek memang masih mengambil air dari sumur timba. Bahkan warga sekitar sering mengambil air dari sumur nenekku untuk kebutuhan sehari" karena airnya memang jernih sekali.
Dari jauh aku bisa melihat sosok seorang di pinggir sumur itu, sedang menengok ke dalam sumur. Aku pun tersenyum dan mengucapkan salam dengan antusias.
"Assalamualaikum, Mang Didi!! " sapaku sambil setengah berlari mengahampiri dia. Mang Didi melihat ke arahku dan menjawab dengan setengah berbisik "waalaikumsalam!"
Lalu kulihat dia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi tanda agar aku diam. Aku nenghentikan langkah ku karena kaget sekaligus heran Mang Didi lalu memberi isyarat agar aku mendekatinya. Aku pun menurut.
Setelah sampai di sebekahnya, aku segera cium tangan dan bertanya sambil berbisik, "lagi ngapain sih, Mang Didi? Kenapa harus bisik" ?"
Lalu Mang Didi menjawab "sstttt .. diam dulu, Nia. Mang Didi lagi nunggu." Lalu dia menghentikan omongannya.
Karena penasaran, akupun bertanya, "nunggu apa, Mang?"
Mang didi mendekatkan wajahnya ke arahku dan berkata " nunggu setan.. setan anak kecil.. yang dulunya mati, jatuh di sumur ini..jangan ribut dulu, Nia..!"
Bukannya takut aku malah tertawa. Tetangga nenek ini memang paling senang menakuti cucu" nenek. Itu kebiasaannya dari dulu. Pernah ketika aku kelas 3 SMP,aku menangis menjerit" karena Mang Didi berkata di kepalaku ada tuyul. Akhirnya setelah nenek menegurnya, Mang Didi tertawa dan berkata itu hanya bercanda.
Lamunanku buyar ketika Mang Didi kembali menyuruhku diam "ssttt diam Nia!! Mang Didi mah sudah bisa lihat setan beneran sekarang!!! Diam yah, diam! "
Aku tersenyum lebar dan berkata bahwa aku bukan anak kecil lagi. Lalu aku mencium tangannya sekali lagi dan melangkah ke dalam rumah. Belum jauh aku melangkah, tiba" terdengar suara Mang Didi memanggil, tapi dia bukan memanggilku. Kudengar Mang Didi memanggil nama lain. " yan.. Yayann!!!! Naik, Yan!!! Basah nanti ih!!"
Ketika aku menoleh ke belakang aki melihat mang Didi sedang melihat ke dalam sumur sambil tetus memanggil seseorang bernama Yayan. Astaga!! Segitu niatnya Mang Didi ingin menakutiku. Aku langsung meneruskan langkahku.
Sampai di dalam rumah, ternyata nenek dan bi Tina sudah tidur. Aku mencium kening nenek dengan lembut. Nenek sempat terbangun, dan aku pun memintanya untuk tidur lagi. Aahhh, aku sayang sekali padanya. Aku pun langsung menuju kamarku dan segea membereskan pakaianku. Tiga bulan ke depan kota Subang akan menjadi teman akrabku.
Besoknya, aku sibuk menata kebun kaktus di halaman rumah. Hampir seharian aku berada di sana, sementara nenek dan bi Tina kebetulan sedang ada jadwal latihan tenaga dalam seharian di Lembang. Sekitar pukul sembilan malam, aku menyalakam tv sambil menunggu nenek pulang. Tak lama, perutku keroncongan. Aku baru sadar kalau aku lapar. Mungkin karena seharian tadi menata kebun dan aku pun ingat akan baksi kalong! Sepertinya nikmat. Aku memakai jaket dan beranjak keluar.
Ternyata di halaman ada Mang Didi sedang menimba air di sumur. Aku pun menegurnya."Mang Dudi!anterin lah ke bakso kalong!"
Mang Didi menoleh dan tersenyum sambil menjawab, "aduh Nia, sendiri saja lah yah! Mang Didi sedang sibuk nih!"
Aku mendekatinya dan berkata " ah mang didi mah! Yah udah atuh, Mang Didi ngapain sih nimba air jam segini. Sampai keringetan gitu."
Sambil ngos"an mang Didi menjawab " mang Didi bukan nimba air!"
Aku penasaran dan bertanya lagi," terus? Ngapain atuh?"
Masih sambil menimba, dia menjawab, "ini lagi nyari kepala. Kepalanya si Yayan!!!" Refleks aku mencubit tangannya dan berkata bahwa itu tidak lucu.
Bakso kalong memang selalu ramai. Di beri nama bakso kalong karena buka pukul 9 malam sampai pukul 3 pagi. Rasanya enak sekali aku memesan 4 bungkus bakso kalong untuk aku, nenek, bi Tina dan Mang Didi. Semuanya hanya 20.000. Sangat murah untuk bakso seenak ini. Setelah membayar, aku pun kembali ke rumah nenek.
Ketika sampai, aku lihat Mang Didi sedang duduk di pinggir sumur sambil mengelap keringatnya. Aku langsung menegurnya, "Mang, nenek sama bi Tina sudah pulang apa belum? "
Sambil terus mengelap keringatnya, Mang Didi menjawab kalau mereka berdua baru saja pulang. Aku pun akhirnya mengajak Mang Didi untuk masuk kedalam rumah dan makan bakso sama". Mang Didi mengangguk dan bilang akan menyusul. mAsih lelah katanya.
aku akhirmya mendekati Mang Didi dan menggodanya, "sudah ketemu Mang, kepala Si Yayan teh?" Aku tertawa karena pertanyaanku sendiri.
Lalu Mang Didi bilang, "sudah Nia, itu ada di ember. Mang Didi,masukin ke dalam ember!" Tangannya menunjuk ke ember yang tergeletak di pinggir sumur. Tawaku semakin keras dan aku mendekati ember itu untuk melihat isinya.
Astaga!!!! Tanganku seketika gemeteran dan bungkusan bakso pun jatuh. Di ember itu benar" ada kepala!! Mang Didi mengambil kepala itu dan mendekatkannya pada wajahku. Yaa Tuhann!!!! Kepala seorang bocah. Membiru karena kehabisan nafas.
Aku langsung menjerit dan melempar kepala yang di sodorkan mang Didi. Ya Tuhan itu kepala aslu, kulitnya terasa sekali.
Aku langsung berlaru kedalam rumah dan,mendatangi nenek dan Bi Tina sambil menangis. Aku berkata kalau aku kesal sama Mang Didi yang sudah keterlaluan menjahili ku. Nenek kebingungan, lalu bertanya apa maksudku.
Masih sambil menangis aku menceritakan semuanya, kejadian dari semalam aku datang hingga kejadian kepala barusan. Lalu nenek dan bi Tina tampak pucat. Dengan pelan nenek berkata, "nia... mang Didi.. sudah meninggal.. dua minggu yang lalu, terpeleset di pinggir sumur saat sedang mengambil air"
Hahh!!!! Ya Tuhan.. laluu, lalu siapa sosok di sumur tadi? Astaga! Pantas saja kemarin mang Didi bilang sekarang sudah bisa melihat hantu. Ternyata.. memang dia sudah meninggal!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
nightmare
HorrorPernahkah kamu merasa melihat sekelebat bayangan di malam hari? atau tiba-tiba mendengar senandung-senandung aneh yang membuat bulu kudukmu merinding? kamu tidak sendiri. banyak orang yang mengalami hal serupa. Semua ini bisa kamu temukan di buku i...