Bab 2

1.5K 339 13
                                    

Bagi Niki, dunianya terhenti di usia 10 tahun. Saat sang mama yang kelelahan akhirnya menyerah pada sakit. Jatuh dan tidak bisa bangun lagi selama berhari-hari sampai akhirnya mengembuskan napas terakhir. Saat itu Niki hanya bisa menangis, karena selain sang mama ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ada Neil tentu saja, tapi laki-laki muda itu tidak pernah menyukainya. Selalu membentak dan mengatakan kalau dirinya menjengkelkan. Meskipun memanggil dengan sebutan Om, tapi Niki mengerti kalau hubungan mereka tidak ada ikatan darah.

Tidak ada yang lebih menyedihkan dari anak berumur 10 tahun yang terdampar sendirian di dunia yang sepi dan dingin. Merindukan kasih sayang dari sang mama yang tidak akan pernah didapatkannya lagi. Kehidupan bahagia Niki selama tiga tahun belakangan saat ada kakek barunya, si nenek dan mama, mendadak terenggut oleh tragedy. Di otak Niki yang masih polos, Tuhan sangat jahat padanya. Mengambil satu per satu orang-orang yang dicintainya. Saat menangis menahan kerinduan, Niki kecil akan bertanya pada Tuhan, kenapa membiarkannya sendirian.

"Bagaimana kalau ada kebakaran, Tuhan. Kalau Niki sakit, atau jatuh. Siapa yang akan merawatku?"

Tidak ada jawaban, Niki hanya menatap dinding kosong di hadapannya. Kamar besar yang ditempatinya tidak lebih dari penjara untuknya. Di rumah ia kesepian, di luar mengalami banyak masalah. Terutama dari anak-anak sepantarannya.

"Kasih lo, anak yatim piatu."

"Ciee, nggak punya mama, nggak punya papa."

"Dasar anak nggak punya orang tua!"

Setelah kematian sang mama, Niki harus menahan ejekan demi ejekan dari teman-teman sekolahnya. Ia hanya bisa menangis mendengar ejekan mereka, tapi tidak jarang membalas perlakuan mereka dengan ejekan yang tidak kalah menyakitkan.

"Biarin gue yatim piatu, tapi punya Om kaya raya. Kalian semua, anak orang miskin!"

Niki sebenarnya tidak ada niat untuk menghina mereka tapi anak-anak itu sudah terlalu jauh menghinanya dan membuat kemarahannya tersulut. Pertengkaran mereka berakhir dengan perkelahian. Niki melawan tiga atau empat anak sekaligus, menggunakan sapu untuk memukul mereka sampai menangis dan berakhir dengan Neil dipanggil menghadap guru.

"Kamu itu omnya, harusnya bisa mendidiknya. Niki makin hari makin liar, dan sulit untuk diatur."

Kalau ada orang yang paling ditakuti Niki saat marah, itu adalah Neil. Saat ini mereka memang tinggal bersama, tapi Neil yang sibuk pergi pagi pulang malam, nyaris tidak ada waktu untuk memperhatikannya. Dipanggil saat jam kerja hanya untuk dimaki oleh guru, tentu saja hal yang tidak menyenangkan. Niki pasrah kalau harus menerima pukulan dari Neil.

"Kamu sendirian lawan mereka?" tanya Neil dari belakang kemudi, melirik Niki yang duduk di sampingnya.

Niki mengangguk dan menjawab lirih. "Iya, Om."

"Kenapa? Apa salah mereka?"

"Mengejekku yatim piatu."

"Padahal kenyataannya benar begitu."

Niki mengepalkan tangan dengan hati sakit dan dada yang sesak. "Memaang begitu! Terus, aku harus diam saja? Tambah banyak yang ngejek, tambah banyak yang hina."

Suara Niki makin melemah, digantikan dengan isakan lirih. Neil menghela napas. Pekerjaan di kantor sedang menumpuk, ada kendala di bagian transportasi, dan ia harus terlibat dengan urusan anak-anak. Kesabaran Neil sepertinya sedang diuji. Sebagai pemuda yang harusnya bersenang-senang dan menikmati masa muda, ia menjadi pimpinan perusahaan sekaligus wali dari anak perempuan 10 tahun. Neil berharap bisa bertahan untuk tetap waras.

"Niki, sekali lagi kamu membuat masalah, aku akan memasukkanmu ke asrama. Kamu tahu bukan, di sekolah asrama kamu tidak akan sebebas biasa?"

Niki terdiam, menatap telapak tangannya yang saling bertaut di depan tubuh. Menyadari kalau Neil memag tidak pernah menyukainya. Diam-diam ia berharap kalau lebih baik masuk sekolah asrama dari pada tinggal bersama laki-laki dingin dan menyebalkan.

My DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang