Bab 11

1.1K 286 21
                                    

Neil menghela napas panjang dengan tumpukan pekerjaan yang seolah mengalir tiada henti. Baru keluar dari rumah sakit dan pekerjhaan tidak memberinya kesempatan untuk bernapas. Laras hanya bisa menggumankan permintaan maaf, seolah-olah dirinya yang membuat Neil sibuk. Selama bekerja, perhatian Neil tidak pernah lepas dari Niki. Merasa aneh karena gadis itu mematikan ponsel dan sama sekali tidak bisa dihubungi. Padahal harusnya Niki mengantarnya pulang, seperti janji yang sudah mereka sepakati.

"Pak, ada permintaan bertemu dengan direktur PT. Multiguna."

"Jared?"

"Bukan, Pak Jayde."

Neil terdiam, memikirkan perkataan Laras. Ia tidak terlalu mengenal Jayde karena mereka tidak berada di lingkungan pergaulan yang sama. Jared dab Jayde adalah kakak beradik, keduanya bisa dibilang sepupu Almaira. Selama ini ia lebih mengenal Jared, tapi tidak pernah bersinggungan dengan Jayde. Entah apa yang diinginkan laki-laki itu darinya.

"Kapan waktu yang diinginkannya?"

"Minggu depan, Pak. Hari Rabu malam."

"Aku nggak tahu ada urusan apa dia dengan kita. Tapi sebaiknya kamu terima. Jadwalkan kalau begitu."

Laras mengangguk dan mengetik cepat di Ipadnya. Mereka berdua terus bicara tentang jadwal, pertemuan, dan berbagai masalah yang terjadi selama Neil di rumah sakit. Setelah Laras keluar, menerima panggilan dari Almaira. Sejujur ia enggan menerima panggilan itu tapi harus dilakukan kalau tidak ingin menyimpan masalah yang lebih besar. Lagi pula, ia bisa menebak apa yang diinginkan oleh Almaira dan tebakkanya tidak salah. Kekasihnya mengamuk.

"Kenapa kamu keluar dari rumah sakit tanpa mengabariku?"

"Aku bisa keluar sendiri, nggak mau ngrepotin kamu."

"Neil, aku itu kuatir!"

"Justru itu, aku keluar lebih cepat biar kamu nggak kuatir. Almaira, aku baik-baik saja dan sudah sehat."

"Pasti sudah ngantor."

"Yeah, begitulah."

Hening sesaat, hanya terdengar goresan pulpen dari tangan Neil ke atas kertas. Almairan berdehem kecil.

"Bagaimana dengan Niki? Dia tinggal bersamamu?"

"Nggak ada. Sudah dua hari nggak bisa dihubungi, entah apa yang dilakukan gadis itu."

"Oh begitu. Ngomong-ngomong, apa kita bisa bertemu akhir pekan untuk makan bersama?"

Neil mengecek jadwal dan mendesah. "Maafkan, aku. Sepertinya akan sangat sibuk."

"Neil, akhir pekan harusnya libur."

"Memang, tapi Laras sudah membuat jadwal yang nggak bisa dibatalin. Maafkan aku, Almaira."

Kekasihnya memutus sambungan sambil bersungut-sungut. Neil berusaha menyingkirkan rasa bersalah dari dalam hatinya. Ia tahu kalau Almaira menginginkan perhatian darinya tapi untuk saat ini dirinya sedang malas berdebat. Bagaimana pun selalu ada perdebatan antara dirinya dan Almaira. Kalau bisa dihindari, lebih baik melakukannya.

Satu pesan masuk memecah konsentrasi Neil. Ia membaca dengan kening mengernyit.

"Om, aku butuh uang buat bayar sesuatu. Cukup besar, Om. Tolong bantu."

Tidak biasanya Niki meminta uang, ia mencoba menelepon tapi tidak diangkat.

"Om, aku lagi ada masalah dengan seseorang. Tante sedang rundingan makanya nggak bisa angkat telepon. Tolong, Om. Tranfer dulu 30 juta, nanti aku ganti."

Sungguh permintaan yang sangat-sangat aneh. Neil merasa ada yang tidak beres. Ia membalas cepat.

"Kalau kamu mau uang, harus angkat teleponku."

My DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang